Bagian pertama-buku yang terdiri dari lima bagian ini- dibuka dengan pengakuan dan pengalaman sejumlah sahabat Hok-gie, saat mendaki Gunung Semeru, 12 desember 1969 hingga ajal menjemputnya . Agar mendapat cerita yang utuh tentang kronologis tewasnya Hok-gie, Editor buku Rudy Badil dan kawan-kawan, menghubungi pelaku sejarah yg sudah tak muda lagi. Mengorek informasi dengan mengandalkan sisa ingatan mereka. Sejumlah dokumentasi seperti tulisan tangan di secarik kartu pos dan foto-foto pendukung terkait peristiwa ikut dilampirkan untuk memperkuat historiografi. Sebagian foto seputar kehidupan peranakan Tionghoa yang dimuat dalam buku ini, belum banyak diketahui khalayak Kesemuanya kemudian diramu dan disajikan lewat cerita yang mengalir, bertutur dan cukup jenaka. Sehari menjelang ulang tahunnya ke-27 atau tepatnya 16 Desember 1969, Hok-gie bersama salah satu anggota rombongan Idhan Dhanvantari Lubis (19) tewas, diduga akibat gas racun di puncak Mahameru . Rudy Badil menulis, proses evakuasi jenazah yg memakan waktu lebih dari satu pekan, memaksa mereka bertahan hidup di alam bebas. Agar tetap hidup, selama empat hari empat malam mereka makan sawi hutan, umbut dan akar alang-alang di gunung tertinggi Pulau Jawa itu. Jenazah Hok-gie dan Idhan Lubis akhirnya berhasil dievakuasi lebih dari sepekan. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Jakarta 24 Desember 1969. Kematian Hok-gie yang mendadak dan sangat mengejutkan menyita pemberitaan media massa saat itu. Tajuk Rencana Kompas, 22 Desember 1969, misalnya menulis:"...Dia seorang pemuda yang luar biasa telah meninggalkan kita. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilian, jujur, dan terbuka. Seorang idealis yang murni, dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang berjiwa bebas. Dan semua itu dihias dengan keberanian yang luar biasa pula" Kematiannya diusia yang relatif muda, sempat menimbulkan kecurigaan, bermotif pembunuhan politik. Setidaknya ini diakui sahabat Hok-gie, Herman O. Lantang saat diinterogasi polisi di Malang, Jawa Timur, serta cecaran pertanyaan wartawan kepada Rudy Badil (hal 70 dan 76). Tudingan itu cukup beralasan, mengingat semasa hidupnya Hok-gie dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan penulis yang sangat kritis terhadap rezim Soekarno dan Soeharto, di awal pemerintahannya. Pemikir dan Aktivis yang Selalu Gelisah Dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media cetak nasional saat itu, Hok-gie misalnya mengkritik kebijakan pemerintah Soekarno dan Soeharto yang dinilai menyimpang. Kritik terhadap kelakuan rekan-rekannya sesama bekas aktivis 1966 yang duduk di parlemen dan dinilai melupakan cita-cita awal perjuangan mahasiswa juga dilontarkan . Tulisannya yang jujur dan tajam begitu membekas bagi pembacanya. Seorang pedagang peti mati menyampaikan rasa kehilangannya, kepada sahabat Hok-gie, Jeanne Mambu yang saat itu tengah mencari peralatan perkabungan di Malang. "Oh ini peti untuk Soe Hok-gie dan Idhan Lubis yang meninggal di Semeru. Saya kenal Soe dari tulisan di koran-koran, saya kagumi Soe yang mau memikirkan nasib rakyat kecil. Kami ikut berduka cita. Maka kami mohon, harap terima rasa duka cita ini dari saya dan staf. Terimalah peti jenazah ini, sebagai sumbangan dan rasa hormat kami semua di Malang...," (hal.69). Bagi Sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia Hilmar Farid, Hok-gie adalah sosok penuh kontradiksi. Ia serius, banyak baca buku, senang diskusi dan debat tentang segala hal. Mulai dari politik sampai film serius tentang Dita Saxova-nya Antonin Moskalyk. Ia gencar mengkritik PKI tapi juga jadi orang pertama yang memprotes pembunuhan massal terhadap anggota dan pendukung partai itu. Hok-gie, tulis Farid dalam "Gie Lewat GIE Mengenang Rasa Malu" mengungkapkan, ikut dalam gerakan sel bawah tanah yang dipimpin tokoh Partai Sosialis Indonesia, PSI Soemitro Djojohadikusumo. Tapi suatu saat, ia menyebut para pemimpin partai itu "sosialis salon". Ia dengan ringan keluar-masuk markas militer saat aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, KAMI. Tapi juga sering bikin panas kuping para perwira, karena kritiknya terhadap militerisme (hal. 301-302). Sedangkan Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo menilai Hok-gie, sosok yang peduli dengan isu hak asasi manusia dan kebebasan pers. Ini bisa dibaca dari berbagai tulisannya diberbagai media cetak, catatan harian, sampai surat pribadi kepada para sahabat dan pacarnya, Dalam artikelnya "Kebebasan Pers dan Kekecewaan Masyarakat" yang dimuat di Harian Indonesia Raya, 12 Mei 1968, Hok-gie berharap pers juga bisa ikut berjihad melawan koupsi dan ketidakadilan. Dalam pandangannya, bila pers disensor maka kehidupan masyarakat kecil akan kian memburuk (hal.369). Dalam artikelnya "Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua" dimuat dalam Mahasiswa Indonesia Edisi Minggu ke V, Juni 1968 Hok-gie mengecam praktek pelarangan buku karya pengarang yang bersimpati pada kelompok komunis sampai larangan untuk membaca buku karya HB Jasin dan Mochtar Lubis. Buku-buku karya kedua penulis ini disingkirkan dari koleksi perpustakaan universitas. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs K Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku (hal.366) Penyikapan suatu persoalan oleh Hok-gie, seperti ditulis Jakob Oetama dalam "Gelisah atas nama Integritas" nyaris seperti kakak kandungnya yang juga aktivis dan intelektual, Arief Budiman (Soe Hok Djin). Entah karena factor genetik atau pengaruh lingkungan, keduanya cenderung hitam putih. Salah satu contoh, seperti dalam catatan harian milik Hok-gie pada 20 Agustus 1968 yang sudah dibukukan "Catatan Seorang Demonstran (LP3ES)": " Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah..." Hok-gie selain pemikir juga aktivis, man in the action. Selain gelisah dan terus menggugat, ia juga seorang demonstran. Dia aktivis angkatan 66, arsitek long march mahasiswa dari Rawamangun ke Salemba, Jakarta yang menuntut harga bensin turun. Lazimnya aktivis mahasiswa, Hok-gie jarang pulang ke rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta. Hampir seluruh waktunya ada di kampus atau di jalan. Di kampus selain mengikuti kuliah, juga merencanakan, mengorganisasi demonstrasi, dan menghimpun kekuatan. Jangan lupa, tidak kalah penting Hol-gie punya hobi naik gunung. Hanya kepada langit di puncak gunung yang sepi dia bisa menghilangkan rasa penatnya perpolitikan. Keadaan waktu itu, tahun -tahun 1966, serba represif. Dia gugat keadaan lewat analisis, diskusi maupun tulisan, bahkan demonstrasi. Aktivitas Hok-gie, sudah barang tentu membuat khawatir keluarganya. Ibunya pernah menyampaikan kegundahannya: " Gie, buat apa sih kritik-kritik orang, kamu cuma cari musuh saja." Hok-gie hanya menjawab, "Ah, mama nggak ngerti." Kisah Asmara dan Sejarawan Tak Teliti Bagi pembaca yang sudah menyimak catatan harian Hok-gie yang sudah dibukukan "Catatan Seorang Demonstran (LP3ES)" , disebut-sebut ia dekat dengan tiga teman perempuannya yang misterius yakni: Rina, Maria dan Sunarti. Misterius karena dalam buku yang dicetak hingga puluhan kali, ketiga nama perempuan itu merupakan nama samaran. Nama mereka sengaja dirahasiakan, agar kehidupan pribadi tak terganggu. Nah, dalam buku ini rasa penasaran pembaca, sedikit terjawab. Sunarti sebenarnya adalah Nurmala Kartini Pandjaitan atau Kartini Sjahrir yang kini memimpin sebuah partai. Dibuku ini istri almarhum politisi dan ekonom Sjahrir menulis: "Siapa yang ganti nama gue jadi Sunarti di buku itu? Gue pernah dekat dengan Gie sejak 1968, karena kita kan pernah jadi mahasiswa Gie tahun 1969." (hal. 147). Hubungan keduanya kandas, akibat latar belakang budaya yang berbeda. Teman dekat Hok-gie lainnya, Luki Sutrisno Bekti. Dia kini bekerja sebagai wartawan senior di Harian Media Indonesia. Luki mengenang dengan semboyan "Buku, Pesta, dan Cinta", Hok-gie berharap mahasiswa di Fakultas Sastra-UI tumbuh menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Hok-gie, tulis Luki dengan penuh kesadaran mencoba membangun watak para mahasiswa bukan dengan cara memprovokasi atau mengkader secara kasat mata, tapi lebih dengan mengajak secara halus untuk berpartisipasi membesarkan bangsa lewat pengalaman kehidupan mahasiswa di fakultas (hal. 195). Selain mendaki gunung dan berdemonstrasi, aktivitas lain yang dilakukan Hok-gie saat itu menonton dan mendiskusikan film yang diputar di kampus atau berbagai kedutaan asing. Atau mendengarkan dan membahas lagu lagu bernada protes milik Joan Baez dan Bob Dylan. Hok-gie juga manusia biasa, tak luput dari kekurangan. Sahabatnya di FSUI yang kini Guru Besar Sinologi FIB-UI Dahana menulis, Hok-gie senang bercanda, suka akan cerita-cerita yang sedikit jorok, menyanyikan lagu dengan plesetan yang kadang-kadang cabul. Sementara bekas muridnya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI Mona Lohanda lewat tulisannya "Perkenalan Intelektual dengan Soe Hok-gie", menilai Hok-gie, sebagai Sejarawan yang kurang teliti dan detail. Mona yang kini bekerja di Arsip Nasional mengkritik Hok-gie tak mau bersusah payah menjelaskan latar belakang-sekalipun singkat-tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam setiap alinea yang dia tulis. Penilaian itu berdasarkan skripsi Hok-gie "Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun September 1948". Misalnya ketika Muso datang kembali ke Indonesia tahun 1935 dan membentuk kelompok PKIÂ Muda, atau PKI angkatan 35, dia tidak merasa perlu untuk menjelaskan bahwa kelompok ini selanjutnya akan ditulis PKI 1935 (hal. 396). Penutup Sayangnya dalam buku ini, tidak dimuat sebagian surat pribadi Hok-gie. Menurut Komisioner Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo dalam tulisannya, setidaknya ada 132 pucuk surat yang pernah ditulis Hok-gie (hal.339). Surat-surat itu ditulis dengan mesin ketik dan dikirim ke sejumlah teman-temannya, termasuk kepada sang pacar dan juga surat balasan teman dan pacarnya. Teman korespondensinya saat itu antara lain Indonesianis Herbert Feith, Ben Anderson, Daniel S. Lev, David R. Looker, bekas Menteri Prekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Cendikiawan dan Sejarawan M.T Zen dan Onghokham. Terlepas kekurangan yang ada, buku ini, layak dibaca siapapun, khususnya bagi kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa . Nilai nilai yang dianut Hok-gie sebagai sosok aktivis dan cendikiawan yang mengedepankan humanisme, moralitas, kejujuran, setiakawan dan integritas yang kukuh tak mudah dibeli, layak ditiru. Seperti kata Rudy Badil, semangat Hok-gie dan keberaniannya mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakan, sesuai dengan apa yang ditulisnya. "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". Memang terlalu jujur dan tanpa tedeng aling-aling, tetapi semangat ini harus ditularkan anak-anak zaman sekarang. Akhirnya memunculkan kembali sosok Soe Hok-gie lewat bunga rampai buku ini, tentu tak dimaksudkan untuk mengkultusindividukan. Mungkin tepat apa yang ditulis Jakob Oetama, sosok Hok-gie pantas ditampilkan dan jadi teladan, di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini. *** Data Buku: Judul Buku : SOE HOK-GIE...Sekali Lagi Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya Editor : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R Halaman : xxx + 510 Cetakan : pertama, Desember 2009 Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia,KPG Jakarta ISBN : -13:978-979-91-0219-5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H