Keberadaan  villa dan bangunan liar di kawasan daerah resapan air, kata sejumlah warga akan merusak lingkungan di masa datang. Dampak buruknya, kata warga setempat Saptaji, kini mulai terasa. " Ketika dibangun villa masyarakat setempat diberi kesempatan mencari kayu. Dan mulai terjadi perambahan. Hutan gundul, debit air berkurang. Ketika hujan besar, berlimpah dan banjir. Dulu hujan besar, airnya masih terserap," keluhnya. Lain lagi pendapat Koko Sarkowi:"Yang saya lihat (debit air)kali dulu dan sekarang berbeda. Sekarang kalau musim hujan, air langsung melintas. Kalau dulu air sempat meresap, kalau dimusim kemarau tetap ada airnya. Saya perkirakan di kawasan ini hanya tinggal 25 persen saja yang bertani. (Mereka kerap) kekurangan air (untuk megairi) sawah, (akibatnya kerap) berebutan.
Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, Burhanudin ikut menimpali. Kata dia jika praktek pembangunan villa liar terus dibiarkan, ancaman banjir dimasa datang akan mengintai warga . Dan itu sudah terjadi. Bogor yang dulu dikenal sebagai kota hujan sekaligus daerah penyangga air, kini dikenal sebagai kota banjir. Saya teringat dengan pemberitaan Harian Kompas, edisi Sabtu 13 Februari 2010. Halaman utamnya memberitakan: "Banjir Ancam Wilayah Jakarta: Satu Tewas dan Ratusan Rumah di Bogor Rusak"
[caption id="attachment_81778" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu sudut pemandangan di kawasan TNGHS, Bogor (Foto: M.Taufik Budi Wijaya)"][/caption]
TNGHS masih diguyur hujan, saat saya meninggalkan daerah yang ditetapkan pemerintah pada 2003Â sebagai wilayah konservasi tersebut. "Lain waktu saya akan kembali ke sini,"janji dalam hati. Semoga hutan lindung, flora dan fauna di dalamnya tetap terjaga dan lestari.
***
Tulisan senada dimuat pula di: http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=345662742027
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H