Mohon tunggu...
M supriyadi
M supriyadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fisip Unsri

Hai! Perkenalkan nama saya M.supriyadi saya adalah mahasiswa fisip unsri yang sedang menjalani studi S-1 Ilmu Hubungan Internasional. Saya tertarik dengan isu-isu sosial yang ada di seluruh dunia. Hobi saya belajar berbahasa inggris dengan cara menonton film yang berbahasa inggris.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bjorka, Sosok Hacker yang Mengancam Keamanan Masyarakat Indonesia, Apakah Termasuk Ancaman Terorisme Baru?

3 November 2024   09:37 Diperbarui: 3 November 2024   09:46 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hacking, fenomena yang telah banyak terjadi di era modern sekarang. misalnya bjorka, hacker asal polandia yang menjadi ancaman bagi pemerintah indonesia. Bjorka sering kali melakukan peretasan ke website pemerintah indonesia. Misalnya saja pada situs resmi kementerian komunikasi dan informatika. Artikel ini akan membahas mengenai isu hacker bjorka sebagai salah satu bentuk dari ancaman terorisme yakni Cyber Terorism. Mengapa demikian? Hal ini menimbulkan diskusi lebih lanjut terkait mengapa bjorka dapat dikatakan sebagai ancaman terorisme. Penulis memiliki pandangan bahwasannya motif dari terorisme sendiri untuk menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat dan pemerintah. Bjorka sering sekali mencuri data dari pemerintah indonesia. Tak hanya itu bjorka membuat masyarakat kurang mempercayai pemerintah. Untuk itu penulis akan memusatkan fokus pada 2 argumen yaitu pertama ,bjorka sebagai ancaman terorisme berusaha untuk menciptakan rasa takut dikalangan masyarakat dan pemerintah. Kedua, Tak hanya membuat rasa takut, peretasan ini bertujuan untuk membuat tidak adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Konsep cyber terorism 

Cyber terrorism adalah bentuk dari serangan yang dilakukan melalui teknologi informasi dan jaringan komputer dengan tujuan mengintimidasi warga sipil dan pegawai pemerintah (prichard J dan MacDonald, 2004). Europong mendefinisikan cyber terorisme sebagai serangan fiber yang mengancam atau menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur atau keamanan suatu negara. Cyber terorisme berbeda dengan cyber crime yang biasanya dilakukan untuk kepentingan pribadi seperti pencurian data kartu kredit ataupun pencurian data identitas seseorang. Cyber terorisme lebih dari cyber crime karena cyber terorism punya dampak yang lebih luas dan dapat mempengaruhi stabilitas sosial dan politik suatu negara.

Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki pertahanan cyber, beberapa kali kecolongan oleh hacker asal polandia, Bjorka. Masalahnya tindakan peretasan bjorka ini bukan hanya sekedar pelanggaran keamanan cyber tapi juga punya motif yang menyerupai terorisme karena menimbulkan keresahan publik. Serangan-serangan cyber yang dilakukan oleh Bjorka dapat berpotensi mempengaruhi kebijakan pemerintah dan merusak stabilitas sosial dengan mengurangi rasa aman di masyarakat.

Aksi Bjorka dan Upaya Menciptakan Rasa Takut

Data NPWP dan nomor Kartu Tanda Penduduk Indonesia sejumlah 6 juta data bocor dan diperjual belikan dengan harga sekitar 150 juta rupiah (CNN Indonesia, 2024). aksi lainnya yang dilakukan oleh bjorka adalah dengan mencuri data sim card masyarakat indonesia sebesar 1,3 juta dan menjualnya pada platform yang sama dengan data npwp tadi yakni pada situs yang bernama breached, sebuah situs jual beli data ilegal yang dapat ditemukan di dark web. Aksi Bjorka mencerminkan karakteristik cyber-terrorism karena menciptakan rasa takut dan ketidakpastian. Peretasan situs pemerintah dan kebocoran data pejabat publik menimbulkan kekhawatiran akan bocornya informasi sensitif lainnya. Masyarakat pun merasa tidak aman, terutama terkait privasi data mereka yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Ketakutan publik tidak hanya terbatas pada privasi, tetapi juga meluas ke isu keamanan nasional. Ketika data-data strategis dapat dibocorkan dengan mudah, masyarakat dan pemangku kepentingan mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam melindungi infrastruktur digital negara. Dalam kasus Bjorka, dampak psikologis dari aksinya lebih terasa dibandingkan dengan kerusakan teknis yang ditimbulkannya. Situasi ini memperlihatkan bahwa tujuan serangan bukan sekadar meretas sistem, tetapi juga menanamkan rasa cemas dan was-was.

Mengikis Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah

Selain menimbulkan rasa takut, Bjorka juga berhasil merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Peretasan situs pemerintah dan kebocoran data memperlihatkan lemahnya sistem keamanan digital di Indonesia. Ketika data-data penting bisa dengan mudah diretas dan disebarluaskan, masyarakat semakin meragukan kemampuan pemerintah dalam melindungi informasi dan menjaga privasi warga. Kejadian ini membuat masyarakat merasa tidak aman dan kurang percaya pada kebijakan pemerintah.

Contoh konkret dampak peretasan Bjorka terlihat pada bocornya data registrasi SIM card dan data pribadi pejabat publik seperti Puan Maharani dan Erick Thohir. Masyarakat menjadi marah dan mempertanyakan kemampuan pemerintah melindungi data warga. Banyak warganet juga menuduh pemerintah tidak transparan dalam menangani masalah ini. Reaksi ini memunculkan ketidakpuasan publik dan menurunkan kepercayaan pada pemerintah.

Respon pemerintah terhadap kasus peretasan ini juga memicu kritik publik. Ketidaktransparanan dan lambatnya penanganan dari pihak berwenang semakin memperburuk situasi. Beberapa warganet bahkan mencurigai bahwa pemerintah tidak serius menangani masalah ini atau mencoba menutupi skandal tertentu. Bjorka memanfaatkan situasi ini untuk memperburuk persepsi publik dan memperkuat narasi bahwa pemerintah tidak kompeten. Akibatnya, hubungan antara masyarakat dan pemerintah semakin tegang, yang dapat berujung pada instabilitas sosial. Kepercayaan publik adalah salah satu pilar penting dalam stabilitas politik suatu negara. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah, muncul risiko terjadinya ketidakstabilan, seperti protes atau demonstrasi. Dalam jangka panjang, jika masalah ini tidak diatasi, pemerintah bisa kehilangan legitimasi di mata rakyat, yang akan mempersulit upaya penegakan hukum dan penerapan kebijakan publik.

Dua pandangan diatas yaitu Pertama ,Bjorka sebagai ancaman terorisme berusaha untuk menciptakan rasa takut dikalangan masyarakat dan pemerintah. Kedua, Tak hanya membuat rasa takut, peretasan ini bertujuan untuk membuat tidak adanya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. menunjukan bahwa dalam perspektif pemerintah Bjorka termasuk kedalam ancaman terorisme jenis cyber terrorism. Kasus Bjorka adalah pengingat bahwa ancaman cyber-terrorism bukan lagi sekadar teori, tetapi sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Pemerintah perlu segera meningkatkan infrastruktur keamanan siber untuk mencegah peretasan di masa mendatang. Selain itu, transparansi dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat sangat penting untuk membangun kembali kepercayaan publik. Tanpa adanya kepercayaan ini, pemerintah akan kesulitan menegakkan kebijakan dan menjaga stabilitas sosial.

Langkah yang dapat diambil meliputi kolaborasi dengan pakar keamanan siber, peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat, dan pembentukan satuan tugas khusus untuk menangani ancaman siber. Selain itu, pemerintah harus belajar dari kasus Bjorka bahwa ancaman siber bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal politik dan psikologi publik. Dalam era digital ini, keamanan siber harus dipandang sebagai bagian integral dari keamanan nasional. Jika tidak ditangani dengan serius, ancaman seperti Bjorka dapat terus berkembang dan berpotensi merusak stabilitas politik serta sosial di Indonesia. Kepercayaan publik adalah aset penting yang harus dijaga oleh setiap pemerintahan.

Daftar pustaka

CNN Indonesia. (2024, September 19). Bjorka Kembali Beraksi, Bocorkan Data NPWP Jokowi Hingga Sri Mulyani. cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240919093355-192-1145913/bjorka-kembali-beraksi-bocorkan-data-npwp-jokowi-hingga-sri-mulyani

Prichard, J. J., & MacDonald, L. E. (2004). Cyber terrorism: A study of the extent of coverage in computer security textbooks. Journal of Information Technology E

ducation, 3, 280-290.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun