Mohon tunggu...
Muhammad Prihatno
Muhammad Prihatno Mohon Tunggu... lainnya -

Kebenaran itu: Tidak punya orang tua Tidak punya tanah air Tidak punya bangsa Bahkan... Tidak punya agama Ia hanya punya TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Kasus Penipuan Perusahaan "Travel Umroh", Sebuah Pembelajaran Spiritual

27 Mei 2018   13:22 Diperbarui: 27 Mei 2018   13:34 3030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pembukaan

Negara kita pernah dihangatkan dengan issue kasus penipuan oleh PT. First Anugerah Karya Wisata  (First Travel) terhadap calon peserta umroh yang mendaftarkan dirinya melalui perusahaan travel tersebut. Ironisnya korban penipuan yang dilakukannya mencapai jumlah yang fantastis yaitu 35.000 jamaah dan ditaksir kerugian para peserta umroh mencapai sekitar Rp. 500 milyar. Sontak peristiwa ini menjadi perhatian khalayak banyak.

Sebenarnya kasus seperti ini bukan yang pertama kali terjadi tapi telah  berulangkali. Hanya saja untuk kasus First Travel menjadi perhatian yang cukup serius dan massif karena jumlah korban dan kerugian yang fantastis, bahkan kejadian seperti ini terus berulang hingga hari ini di berbagai daerah di Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, Penulis, tidak membahas tentang persoalan teknis dan pidana penipuan yang dilakukan oleh PT Anugerah Karya Wisata tapi membahas tentang mengapa saat ini perusahaan travel yang menyediakan layanan umroh menjamur di Indonesia dan mengapa umat Islam begitu mudah tertipu oleh pelayanan tersebut?. Penulis mengangkat tentang hal ini karena berpendapat bahwa ada unsur sosiologis keagamaan yang selama ini kurang menjadi perhatian para pihak.

Pembahasan

Umat Islam di Indonesia dikarenakan bentukan sosiologis sejarah kebangsaan mengganggap bahwa melakukan ibadah Haji bukan hanya menjadi sekedar perintah agama akan tetapi juga menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan dan mendapatkan pengakuan sosial. Gelar Haji yang disandang seseorang mendapatkan persepsi sosial yang positif dan mendapatkan apresiasi sosial dalam bentuk penghormatan sebagai manusia yang memiliki "kesucian spiritual" sehingga layak dijadikan sebagai patron dalam kehidupan bermasyarakat. 

Tingginya apresiasi terhadap mereka yang menyandang gelar Haji menjadikan ibadah ritual Haji sebagai sesuatu yang mesti dilaksanakan meskipun, kadangkala, dilakukan dengan pengorbanan yang tidak rasional.

Suasana sosiologis keagamaan umat Islam yang sedemikian, disatu sisi, merupakan keberhasilan misi dakwah bagi umat, namun di sisi lain juga dapat menjadikan ibadah Haji sebagai pembentuk suasana esoterik baru; yaitu Haji merupakan sisi kebatinan tertinggi dalam beragama hingga mampu membunuh sisi makna sosial dari ibadah Haji. 

Sehingga berHaji juga mampu menjadi pembentuk kecenderungan gaya hidup  bagi umat. Kecenderungan ibadah haji bermetamorfose menjadi gaya hidup ini berlangsung tidak dengan serta merta akan tetapi berjalan dengan skema rekayasa sosial yang semakin reifikatif. Sehingga, dengan demikian, Haji juga menjadi incaran para pihak demi sebuah keuntungan rupiah.

Selanjutnya, selain didukung oleh fenomena tersebut, kemajuan perekonomian negara ini membuat peminat Haji semakin membludak hingga daftar tunggu mencapai hitungan belasan bahkan puluhan tahun. Namun, keinginan untuk memijakkan kaki di tanah suci bagi umat tetap menggebu-gebu, sehingga ibadah umroh menjadi alternatif ibadah pengganti Haji.

Para pemodal melihat fenomena seperti ini sebagai peluang untuk meraup keuntungan besar, maka ibarat jamur di musim hujan, perusahaan penyedia fasilitas layanan haji dan umroh tumbuh subur, tentu saja disertai dengan segala metode untuk menarik minat jamaah agar bergabung ke pelayanan mereka. Salah satu dari perusahaan tersebut bernama PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel).

Tingginya minat untuk berhaji atau umroh sangat wajar apabila disambut dengan tumbuhnya perusahaan layanan jasa terhadap hal tersebut karena sesuai dengan hukum ekonomi yaitu dengan semakin tingginya permintaan maka penawaran juga akan semakin tinggi. Tapi sayangnya, kesemua itu tidak diiringi oleh sikap kehati-hatian dari jamaah calon haji atau umroh, sehingga kasus penipuan terhadap jamaah terjadi berulangkali.

Tertipunya calon jemaah selain disebabkan oleh banyaknya peminat yang ingin berangkat Haji atau umroh, juga disebabkan oleh gejala "cara beragama" yang tidak rasional. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin ada penyelewengan penyelenggaraan karena hal tersebut berkaitan dengan urusan ibadah, sehingga kepercayaan kepada para penyedia fasilitas pelayanan Haji dan Umroh sangat tinggi yang menyebabkan jamaah begitu mudah menyerahkan dananya untuk dikelola oleh perusahaan tersebut.

Kedua hal tersebut yaitu banyaknya peminat umroh dan "cara beragama" yang tidak rasional, menurut penulis, menjadi penyebab utama terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan dana jamaah seperti yang dilakukan oleh PT First Anugerah Karya Wisata. Namun, untuk akurasi dan validasi dari pendapat ini dibutuhkan penelitian sehingga pendapat tersebut memiliki keakuratan akademik.

Penutup

Pada bagian akhir tulisan ini beberapa hal perlu disampaikan untuk mempermudah pengertian tentang tulisan di atas. Bahwa tulisan di atas tidak menggunakan pendekatan fiqhiyah ketika berkaitan dengan persoalan agama (Haji atau Umroh) tapi menggunakan pendekatan sosiologis. Sedangkan untuk persoalan-persoalan teknis penyelenggaraan haji atau umroh juga tidak disentuh karena membutuhkan referensi-referensi khusus dan untuk saat ini penulis belum memiliki kapasitas referensi yang mumpuni.

Selain hal itu, hal-hal yang berkaitan dengan fenomena sosiologis keagamaan cenderung dapat menghindari perbedaan pendapat yang saling mengkafirkan, namun justru akan menumbuhkan dinamisasi cara beragama yang lebih mudah untuk didebatkan. Hal ini juga dapat membantu kita dalam menganalisa fenomena umroh yang telah menjadi gaya hidup.

Hal penting lainnya dari tulisan di atas adalah bahwa ketika cara beragama sudah tidak rasional apalagi telah menjadi gaya hidup maka kapitalisme dapat menyambutnya dan merubahnya menjadi keuntungan materi tanpa mempertimbangkan lagi unsur-unsur esoterik dari agama.

Demikian tulisan ini dibuat yang tentu saja masih banyak terdapat kekurangan yang dengan demikian perbaikan dan penyempurnaan masih sangat dibutuhkan dari semua pihak yaitu dengan cara penyampaian pendapat-pendapat kritis yang membangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun