Mohon tunggu...
Mohammad Furqon
Mohammad Furqon Mohon Tunggu... -

Pustakawan di sebuah LSM di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Seorang Maling

22 Juli 2014   20:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temaram lampu berwarna biru senyap itu menderu menggrayangi mata Susito. Dalam ruangan berukuran 2x3 meter itu terdapat sebonggol kepala yang dibungkus rambut tipis lumayan panjang. Giginya kuning tua bergaris-garis seperti warna seng yang berkarat. Kepulan asap rokok yang tak dimatikan dengan sempurna itu seperti dengusan asap naga yang baru saja selesai memantikkan api. Mungkin ia tergesa-gesa waktu mematikannya ke dalam asbak batok kelapa coklat itu, berserabut, serabut yang bergelombang. Sesosok lelaki buta warna itu memiliki nyawa, dan jiwa yang panas, tapi terkadang merintih kesakitan terhimpit jaman yang semakin dingin, sinis, dan angkuh.

Sebuah dompet yang hanya tersisakan kartu tanda penduduk, yang tentu bukan miliknya, sepertinya punya seorang wanita paruh baya yang sedang gila trend, berwarna hitam lusuh, berbentuk setengah lingkaran, berhiaskan manik-manik emas, dan rumbai-rumbai seperti pola celana dalam wanita. Disampingnya botol anggur merah yang sengaja disisakan separuh, Molekul-molekulnya seperti melambai-lambai ingin segera ditenggak, panas, dan beraromakan mistis. Tepat disamping tempat tidur busa yang tak lagi tebal itu tergeletak pula pistol semi otomatis FN Browning HP yang cat pada pelatuknya telah mengelupas karena terlalu sering digunakan. Susito terus mendengkur, posisi tangannya membentuk sudut yang efisien seperti siap menarik pelatuk pistolnya. Sesekali ia menggelinjang kaget karena mimpi buruk atau hanya karena benda yang tak sengaja tersenggol tikus yang berkeliaran berpesta pora di malam miliknya.

Dalam mimpinya ia sedang diburu kawanan mafia meksiko yang terbirit-birit seperti berkumur cairan jalapeno panas. Kawanan orang-orang marah itu memperebutkan sebilah perkamen yang terbuat dari kulit mammoth berisi peta harta karun atlantis. Susito terus melemparkan hujatan dengan senjata api miliknya, tak tentu arahnya, berdesing-desing membelah reruntuhan bangunan lawas yang telah berlumut dan lembab. Kawanan berompi kulit dan setelan kemeja flanel kotak-kotak khas lumberjack serta bawahan jeans cutbray yang terseok-seok lars kulit itu tak mau kalah. Suara senjata bersahutan seperti ayam yang melihat fajar buatan, seperti dalam cerita Tangkuban Perahu.

****

Kemudian ia terbangun. Lalu tertidur kembali. Pelan tapi pasti dengkuran itu semakin menggoncang peredaran mimpi-mimpi yang gentayangan. Kali ini ia terjebak di tengah Russian Roulette pada sebuah hutan yang hitam, seperti pada film "Thirteen" yang dibintangi si kekar Jason Statham. Sebilah revolver itu diacungkan tepat di kepala susito, yang sebelumnya sebutir peluru dimasukkan ke kantungnya kemudian diputar. Keringat membasahi wajah kumalnya, menetes perih di matanya, seketika tersayat. Satu peluru di kantung nya berputar perlahan dan semakin kencang, membangkitkan arwah Flying Dutchman yang berputar-putar sambil terkekeh.

Ia kaget, terbangun, bersamaan dengan tikus yang mengerang kaget pula. Matanya terbelalak, memandang sekitar, semua terlihat abu-abu seperti biasanya. Penampakannya hitam, hanya urat mata lelah di ke dua bola matanya yang terlihat merah, menandakan masih teraliri darah. Ia menyaut botol anggur merah yang tersisa separuh, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Hanya sedetik bergumam, entah apa yang dikatakanya tiada yang tahu, dan tak mau tau.

Seekor tikus got yang baru keluar dari sarangnya celingukan di sela-sela rimbun dan angkernya tumpukan barang. Puluhan dompet, sebuah mesin pendingin berbahan bakar air, radio tua yang masih memperdengarkan lagu-lagu tua pula, sepeda mini beroda empat, dan kacamata matahari berbingkai tanduk gibon. Susito masih terbuai dalam mimpi-mimpi dimana ia lebih nyaman berada di dalamnya.

Pada suatu sore di musim panas tahun lalu, ia berkata entah kepada siapa, "sesekali aku ingin bermimpi menyeberangi bayangan pelangi yang di ujungnya terdapat gentong berisi emas, ya, seperti dalam cerita penghantar tidur itu". Tapi hingga malam ke 459 setelah satu-satunya impiann paling masuk akal nya itu, ia tak pernah mendapat mimpiny. Tak apa, masih ada malam ke 460 bahkan lebih banyak lagi.

Dalam ruangan yang selalu gelap itu terpancar sebuah keputus-asa-an, kesia-sia-an dan kebosanan. Bahwasanya roda nasib tak benar-benar berputar, dan roda itu sendiri yang tak benar-benar bulat. Mimpi, bayangan nasib, dan mitos mengenai harapan adalah satu peredaran masa yang membosankan. Kosong yang abstrak dan abstrak yang sebenarnya kosong. Dalam meditasi malamnya, Susito selalu teringat akan kenangan. Kenangan yang bercabang, menggurita seperti instalasi listrik pada sebuah lokomotif kereta malam yang gelap, yang selalu meraung berat dalam setiap peraduan malamnya.

Susito mengerutkan dahinya, agak lama. Mungkin dia bermimpi tentang keledai yang ditunggangi pengembara padang pasir, mengangguk-angguk seakan tahu apa yang benar, atau ia bermimpi tentang kue lapis yang tak sempat ia habiskan kemarin, ia tampaknya bingung, baru sekali ini seumur hidup ia bingung.

Ia terhenyak, kalangkabut, kemudian keluar, seakan mencari peraduannya, baru sekali ini ia ingin mengadu.

“Mau kemana lagi, pak?”, tiba-tiba suarakecil itu muncul,

“Sholat subuh, nak”, sahutnya pendek.

Yogyakarta, 12 juli 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun