Kemudian, pembuat tanjak eksis dimana – mana, mewujudkan teori pasar. Mengimbangi permintaan yang terus bertambah lalu menaikkan harga dengan jaminan kualitas. Selain meningkatkan penghasilan warga, para pengrajin ini akan lebih ketat belajar budaya, khususnya adat Melayu semenanjung, yang secara tak sadar menjadikan mereka pamong – pamong pelestari budaya dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan menularkannya pada konsumen.
        Rasanya suatu hari nanti, sebagian besar laki – laki di pulau ini akan memiliki lebih dari satu tanjak, menyesuaikan sarung atau songketnya. Peluang ini sangat menjanjikan untuk mereka yang terus belajar. Sangat mudah menapak bisnis baru ini. Kain dan motif yang dikehendaki dapat dibawa oleh konsumen sedangkan produsen hanya menghimpun kreatifitas. Modal awalnya sangat terjangkau.
        Intinya, jangan pandang sebelah mata sesuatu yang terlihat kecil ini. Kreatifitas pembuat pin atau bros berbahan kuningan dan besi juga dapat terpacu akibat instruksi ini. Wujud keris, cogan, bulan bintang atau simbol gelombang bahkan siluet sampan layar dapat saja direkatkan pada sang tanjak.
         Akhirnya, budaya Melayu menjadi atap yang meneduhi seluruh keberagaman di Kepulauan Riau dan bila ada even budaya yang mempertemukan masyarakat seprovinsi ini, dengan melihat tengkolok atau tanjak semata, kita dapat tahu siapapun berasal darimana, karena tiap kabupaten - kota memiliki identitas tanjak khas daerah. Semoga saja. Mau membantu ekonomi tempatan? Mari bertanjak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H