Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog Rindu

2 Februari 2016   15:47 Diperbarui: 2 Februari 2016   15:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah hampir putus kuliah waktu itu. Untunglah Tuhan mengirim Bram; pahlawan Ayah. Pria dari Jawa Timur itu sangat banyak membantu Ayah. Tak hanya sebagai teman jalan, sering ia jadi penyudah semua masalah yang datang. Entah itu yang berkaitan dengan akademik maupun keuangan. Selain cerdas, Bram tak pernah menghitung pengeluarannya buat Ayah. Rasanya, jika tak ada Bram, Ayah tak kan pernah bisa mendapat gelar sarjana. Terlalu banyak budinya jika harus Ayah ingat-ingat kembali.

Datang ke kampus lagi, membuka lebar kerinduan Ayah pada Bram. Masa sulit itu, jika Bram pulang dari Surabaya, ia akan membawa banyak bekal lauk kering yang tak mudah basi untuk Ayah. Dari Romo kata Bram menyebut Ayahnya. Kami serumah Sayang. Rumah milik Romo di Yogya.

Seluruh panganan itu jatahnya paling banyak buat Ayah pastinya. Karena Bram sering makan diluar. Tak sempat harus pulang-pergi ke rumah dengan aktivitasnya yang begitu padat. Calon insinyur itu sangat aktif. Ayah sangat terbantu, karena cukup beli beras dan kerupuk saja. Pelengkap. Diluar itu semua, Ayah tak pernah ceritakan padanya, Ayah sering menahan lapar.

Romo juga sudah seperti orangtua bagi Ayah. Ayah sering merindukannya. Karena Ayah tak pernah bisa pulang selama kuliah, sosok kakekmu di kampung, Ayah wujudkan dalam diri Romo. Bram sangat mirip dengan Romo. Suaranya yang berat dan ketampanannya. Tak heran Bram sangat mudah memilih cinta, dengan apa yang dia miliki ditopang kemapanan Romo kami. Kecuali Ibu.

Tiap tiga bulan sekali Romo mampir ke Jogja barang dua sampai tiga hari.Tanpa Nyai, panggilan Romo untuk isterinya. Nyai menderita stroke sudah hampir setahun sebelum Bram kuliah di Yogya. Di Surabaya, Nyai dirawat oleh pembantunya dan Laksmi, adik Bram satu-satunya. Adik ayah juga.

Kedatangan Romo artinya makan besar. Romo kerap mengajak Ayah dan Bram ke rumah makan yang bonafid. Yang tak mungkin Ayah masuki jika Ayah punya keinginan sendiri kesana. Semua menu terbaik akan dihidangkan, Bram si pelahap segalanya itu akan makan dengan kecepatan tinggi. Sampai akhirnya tersandar dengan perut buncit dan keringat sebesar biji semangka. Ayah tak seekstrim Bram, masih menyisakan harga diri.

Kebiasaan Romo yang lainnya, kami harus menyisakan satu malam begadang dengannya. Ia hobby nyanyi plus bermain gitar. Suaranya mirip biduan Kris Biantoro. Dalam dan berwibawa, tapi enak didengarkan. Tak seperti suara Ayah dan Bram. Standar sekali. Berpuluh lagu ia nyanyikan. Bergantian kami memainkan gitar. Diselingi teh panas dan martabak. Kombinasi kesukaan Romo.

Dalam jeda itulah, Romo menanyakan perkembangan kehidupan kami berdua. Tentang akademik, rencana, ambisi dan wanita. Semua hal akan mengalir kami ceritakan pada Romo. Kenangan yang hebat bersama mereka Sayang..

Romo memberi banyak motivasi dan keceriaan dalam saat-saat seperti itu. Ia tak menggurui, tapi kami selalu ingin diceramahi. Ia tak mengajarkan, tapi kami selalu ingin diberi jalan. Romo dan Bram adalah kombinasi yang sangat segar untuk jiwa ayah yang tak punya siapa-siapa di tanah Jawa ini. Mereka melebihi malaikat pendamping Ayah. Selalu menjaga dan mengiringi Ayah dalam segala keterbatasan yang kumiliki.

Kini, tempat kenangan bersama Bram hanya tinggal di kampus saja. Rumah Romo telah dijual sejak Bram mendapat gelar sarjana. Romo dan Bram adalah penggalan dari jiwa Ayah, selain Ibu tentunya sayang. Ayah merindukan suasana itu. Sangat meledak-ledak menginginkannya saat ini.

Ayah juga merindukan Om Badran. Selama di Yogya, beberapakali aku menemuinya.  Ia dulu tetangga kita, desa sebelah. Rumahnya, tempat aku melarikan diri. Dia tahu semua tentang Ayah dan Ibu. Ayah banyak bercerita padanya. Tentang kita. Apalagi tentang kesulitan hidup Ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun