udang (vaname maupun windu). Khususnya dalam pembenihan udang vaname, BBPBAP Jepara mengandeng sejumlah hatchery skala rumah tangga (HSRT)/unit pembenihan rakyat (UPR) untuk melakukan pentokolan. Masyarakat sekitar BBPBAP Jepara yang ingin melakukan usaha petokolan diberi fasilitas berupa benih dan air tandon untuk memudahkan kegiatan usaha mereka.
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara bisa dibilang sebagai salah satu UPT Ditjen Perikanan Budidaya yang hingga saat ini masih fokus mengembangkanKepala BBPBAP Jepara, Supito mengungkapkan, BBPBAP Jepara (Balai Jepara,red) juga bekerjasama dengan HSRT/UPR dalam mengembangkan pembenihan udang. "Masyarakat kami ajak untuk melakukan pentokolan udang. Kita siapkan benihnya dan sumber air di depan balai. Air ini untuk menekan cost produksi mereka. Karena untuk biaya air , satu baknya bisa mencapai Rp 1 juta," kata Supito, di Jakarta, belum lama ini.
Pembenihan udang pada skala pentokolan sangat menguntungkan bagi masyarakat. Ada sekitar 15 HSRT/UPR yang digandeng Balai Jepara untuk mengembangkan budidaya udang. Masyarakat atau pengelola HSRT bisa membeli benur post larva (PL 5-PL6) dengan harga Rp 10 per ekor. Setelah dipelihara dalam bak kurun 10-15 hari, mereka bisa menjual dengan harga Rp 24 -Rp 25 per ekor.
" Benih hasil pentokolan yang dilakukan masyarakat survival rate (SR)-nya cukup tinggi mencapai 70-80 persen. Pentokolan menjadi salah satu usaha yang banyak diminati masyarakat. Sebab, sangat menguntungkan. Tak menunggu lama, hanya dua minggu mereka sudah mendapat untung," papar Supito.
Selain udang vaname, Balai Jepara pada tahun 2025 juga mengembangkan udang windu. " Udang windu tetap kami kembangkan, khususnya di Jawa Timur (Sidoarjo) dan Kalimantan. Udang windu ini juga diminati pasar dalam negeri dan manca negara," ujarnya.
Budidadaya udang windu yang dikembangkan di Jatim dan Kalimantan hanya butuh pakan alami. Sehingga, untuk size (ukuran) 30-40 ekor per kg, perlu waktu budidaya selama 4 bulan.
Lantaran potensinya cukup besar, Balai Jepara juga mendorong pengembangan udang windu ke masyarakat. Salah satunya melalui pengembangan outlet pentokolan, terutama di tambak-tambak tradisional yang tersebar di Pantura Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Utara.
Menurut Supito, Balai Jepara telah mengembangkan inovasi pentokolan benih udang windu dengan membangun outlet pentokolan di kawasan budidaya udang windu. Setidaknya ada 5 outlet pentokolan antara lain di Kabupaten Brebes, Sidoarjo, Gresik, Kalimantan Barat, dan di Kota Tarakan. Keberadaan outlet tersebut secara langsung berdampak signifikan terhadap produktivatas budidaya udang windu di kawasan tersebu. Pentokolan ini dijadikan model untuk pengembangan di daerah lain.
Diharapkan, melalui pentokalan ini mimpi besar untuk mengembalikan kejayaan udang windu yang selama beberapa dekade terakhir masih terpuruk khususnya di Pantura Jawa, bisa terwujud. Mengingat, udang windu ini merupakan salah satu udang asli Indonesia. Balai Jepara pun terus berupaya agar udang windu ini bisa memasyarakat lagi. Sehingga perlu revitalisasi dari manajemen produksi.
"Kami berupaya agar produktivitas naik, dan memberikan keuntungan lebih tinggi bagi pembudidaya," ujar Supito.
Supito mengatakan, udang windu banyak dibudidaya di tambak tradisional yang padat tebarnya rendah. Namun, masalah utama tambak tradisional adalah kualitas lingkungan budidaya, seperti terjadinya pembusukan dasar tambak, sehingga menyebabkan survival rate (SR) rendah yang akhirnya berdampak pada produksi yang rendah juga.