sosial dan politik adalah fenomena yang kompleks dan terus-menerus dalam masyarakat. Untuk memahami dinamika perubahan ini, salah satu kerangka pemikiran yang sangat relevan adalah konsep hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, seorang pemikir politik dan teoretikus Italia pada abad ke-20. Dalam essay ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana konsep hegemoni Gramsci dapat membantu kita memahami perubahan sosial dan politik dalam masyarakat.
PerubahanAntonio Gramsci adalah seorang intelektual besar di kalangan kaum kiri, yang disebut sebagai pemikir terbesar setelah Karl Marx. Pemikiran-pemikiran Gramsci tertuang dalam banyak artikel yang dimuat di media massa, dan dalam buku-buku karyanya seperti; Prison Notebook, The Modern Prince and Other Political Writing, Selection from the Prison Notebooks, Letters from Prison, Selection from Political Writing, Selection from Cultural Writing, dan sebagainya
Gramsci melihat masyarakat sebagai medan pertempuran di mana kelompok-kelompok sosial bersaing untuk mengendalikan dan membentuk tatanan politik dan sosial. Ia berargumen bahwa dominasi kelompok-kelompok elit tidak hanya bergantung pada pemaksaan fisik semata, tetapi juga melibatkan pengaruh budaya dan ideologi yang kuat. Konsep hegemoni mengacu pada proses di mana kelompok dominan berhasil memperoleh dukungan dan penerimaan dari kelompok-kelompok subalteren (kelompok yang dikuasai) melalui pengaruh budaya, ideologi, dan norma-norma yang dibentuk.
Hegemoni kelompok dominan dapat diwujudkan melalui dua pendekatan utama. Pertama, ada dominasi politik yang mencakup penggunaan kekuatan langsung dan kontrol oleh negara atau kelompok elit. Dominasi politik ini dapat terlihat dalam bentuk undang-undang yang menguntungkan kelompok dominan, penindasan politik terhadap oposisi, atau penggunaan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, Gramsci juga menyoroti peran dominasi budaya dalam mempertahankan hegemoni kelompok dominan.
Dominasi budaya merupakan bentuk dominasi yang lebih halus dan kompleks, di mana kelompok dominan menggunakan institusi seperti media massa, pendidikan, dan sistem nilai budaya untuk menyebarkan ideologi mereka. Mereka berusaha mengamankan posisi mereka dengan mengontrol produksi dan reproduksi pengetahuan, mempengaruhi pembentukan opini publik, dan mengendalikan narasi politik yang ada. Melalui dominasi budaya, kelompok dominan dapat menciptakan "konsensus yang diperoleh" di antara anggota masyarakat, sehingga nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan dunia mereka dianggap sebagai norma dan diterima secara luas.
Namun, Â hegemoni tidak bersifat statis atau tak tergoyahkan. Gramsci menyadari bahwa hegemoni dapat ditantang dan berubah seiring waktu. Perubahan sosial dan politik dapat terjadi ketika kelompok subalteren mampu membangun kesadaran kolektif dan mengartikulasikan narasi alternatif yang menantang hegemoni kelompok dominan. Proses ini melibatkan pembentukan kontra-hegemoni, di mana kelompok subalteren mencoba mengorganisir diri, membangun solidaritas, dan merumuskan agenda transformasi yang baru.
Dalam konteks perubahan sosial dan politik, Gramsci menekankan pentingnya peran intelektual dalam mengartikulasikan kontra-hegemoni. Intelektual bukan hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan akademis, tetapi juga individu atau kelompok yang mampu memahami realitas sosial dan politik serta berperan aktif dalam perjuangan untuk perubahan. Mereka dapat menjadi penggerak perubahan melalui penciptaan dan penyebaran ide-ide yang melawan dominasi kelompok elit.
Peran intelektual organik sangat penting dalam melawan hegemoni. Intelektual organik merupakan intelektual yang memiliki hubungan langsung dengan kelompok subalteren, memahami kepentingan dan aspirasi mereka, dan bekerja bersama mereka dalam merumuskan strategi perubahan. Mereka berfungsi sebagai penghubung antara teori dan praktik, menerjemahkan kebutuhan dan tuntutan masyarakat ke dalam bahasa dan tindakan yang dapat memobilisasi dan menggerakkan massa.
Selain peran intelektual organik, Gramsci juga menyoroti pentingnya perjuangan kolektif dalam perubahan sosial dan politik. Perubahan tidak dapat dicapai oleh individu atau kelompok kecil saja, tetapi melalui kerja sama dan solidaritas antara berbagai kelompok subalteren. Gramsci menggambarkan perjuangan ini sebagai "perang posisi" dan "perang manuver". Perang posisi mencakup pembentukan gerakan massa, organisasi politik, dan pendidikan politik untuk memperoleh pengaruh dan kekuatan secara bertahap. Sementara perang manuver melibatkan pengambilan peluang saat krisis atau momentum tertentu untuk merebut kekuasaan dan mengubah struktur sosial dan politik.
Melihat perubahan sosial dan politik dengan lensa hegemoni Gramsci memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang dinamika dan kompleksitas perubahan tersebut. Konsep hegemoni membantu kita melihat bahwa perubahan tidak hanya terjadi melalui kekuatan politik dan kekerasan semata, tetapi juga melalui pengaruh budaya, ideologi, dan norma yang diterima secara luas dalam masyarakat. Dalam melawan hegemoni, peran intelektual organik dan solidaritas antara kelompok subalteren menjadi faktor penting untuk menciptakan perubahan yang lebih adil dan inklusif.
Perubahan sosial dan politik tidaklah mudah. Proses perubahan sering kali bertentangan dengan kepentingan kelompok dominan yang mempertahankan status quo. Upaya untuk menggulingkan hegemoni dan membangun kontra-hegemoni membutuhkan ketekunan, strategi yang cerdas, dan kesadaran kolektif yang kuat. Perubahan tersebut juga harus didukung oleh partisipasi aktif dan kesadaran politik yang lebih luas dalam masyarakat.