Mohon tunggu...
M FathonahFaris
M FathonahFaris Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siswa

Mahasiswa Baru FISIP UPNVY

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenaikan China Sebagai Kekuatan Global

4 Juni 2023   23:15 Diperbarui: 4 Juni 2023   23:19 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagaimana kebijakan One Belt One Road ini telah berjalan, China berhasil menandatangani perjanjian kerjasama dengan lebih dari 100 negara dan organisasi internasional. Kebijakan ini membuktikan adanya penyelenggaraan manufaktur, peningkatan pasar dan modal, mitra keuangan, pencapaian 'Free Trade and Industry Zone', dan asimilasi budaya. Disamping itu, kebijakan ini juga berkaitan pula dengan geopolitik. Jika dilihat dari perspektif hubungan internasional, adanya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh global dari China ke negara lain. Mirip halnya dengan Marshall Plan yang dibuat oleh Amerika. Marshall Plan dan One Belt One Road ini adalah dua strategi geopolitik yang terbesar dengan tujuan yang sama yaitu ingin mengubah struktur kekuatan global. Perbedaannya, Marshall Plan berfokus mewujudkan tatanan geopolitik yang berbasis demokrasi liberal dan struktur kapitalisme pasar bebas. Sementara kebijakan One Belt One Road menantang tatanan pascaperang yang dibentuk oleh Amerika dibawah 'konsensus Washington' dan menciptakan tatanan global baru. 

Konflik Rusia dan Ukraina yang sempat memanas pun memberikan pengaruh terhadap kedudukan China pada kekuatan global. Sulit untuk memperkirakan dan menilai apakah perang tersebut sebenarnya memperkuat pengaruh China dalam hubungan internasional atau malah sebaliknya. Walaupun begitu, terdapat beberapa resiko dan potensi bagi China. 

Resiko yang dimaksud berbicara mengenai situasi politik yang ada. Situasi politik yang sedang terjadi dapat menjadi pedang bermata dua bagi reputasi dan citra China akibat kekerabatannya dengan Rusia. Mengingat hubungan Amerika dan Rusia pada masa lampau, tentu hal ini dapat memicu Amerika. Sehingga dapat dikatakan bahwa akan terjadi peningkatan polarisasi politik dan ideologis di Asia Tenggara dan Selatan.

Selain itu, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina juga telah membentuk pandangan dasar bahwa konflik tersebut terjadi untuk memperkuat aliansi NATO. China melihat NATO adalah sebagai bentuk geopolitik yang dilakukan oleh Amerika dan menganggap bahwa NATO bukan sebagai aliansi pertahanan, namun sebagai instrument ekspansionisme Amerika.

Disisi lain, rupanya konflik yang dialami oleh Rusia dan Ukraina memberikan potensi secara langsung maupun tidak langsung agar China dapat menjadi kekuatan global. Dilihat dari segi geostrategis, dapat dikatakan bahwa posisi China dalam konflik Rusia dan Ukraina berkaitan erat dengan kompetisinya dengan Amerika.  Berhubungan dengan itu, inilah yang menjadi alasan mengapa China tidak bergabung dalam sanksi anti-Rusia. Hal tersebut bukan karena China mendukung invasi militer ke Ukraina, tetapi lebih karena bagi China, jika mereka menyetujui sanksi tersebut artinya mereka tunduk pada kehendak Amerika. 

Disamping itu, tampaknya China juga untuk memainkan peran dalam menangani gencatan senjata yang terjadi di Ukraina dengan pijakan yang sama dengan Amerika. Hal ini dibuktikan dari kesepakatan China dengan Washington dan Brussel.  Sehingga yang China lakukan disini adalah untuk tampak seperti "neutral state" dimana perhitungan geopolitiknya mengarah pada kalibrasi respons yang cermat dan keterlibatan minimal.

 Dilihat dari segi ekonomi, konflik antara Rusia dan Ukraina memberikan China sebuah keuntungan. Perlu diketahui bahwa Rusia merupakan salah satu negara yang memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan minyak dan gas dunia. Sementara salah satu dampak dari terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina adalah kenaikan harga pada minyak dan gas di berbagai negara. Kenaikan harga minyak dan gas tersebut tidak dirasakan oleh China karena terjalinnya hubungan yang baik dengan Rusia. Sebaliknya, China pun mendapat pasokan energi dari Rusia secara melimpah dengan harga yang rendah. Dilansir dari data Lembaga konsultasi bisnis energi, Energy Aspects, pada tahun 2023, diperkirakan setidaknya China akan mengimpor hingga 2,2 juta barel minyak per hari dari Rusia.

Namun, perlu diingat bahwa dampak atau peluang dari konflik Rusia dan Ukraina terhadap kenaikan China menjadi kekuatan global tergantung pada perkembangan situasi serta tindakan yang diambil dari pihak-pihak yang terkait dan komunitas internasional. Terutama tindakan yang diambil oleh kekuatan global saat ini, yaitu AS yang melihat China sebagai ancaman terhadap posisinya sebagai hegemon dunia. Lantas bagaimana reaksi Amerika terhadap China?

Layaknya sebuah kompetisi, Amerika dan China berlomba-lomba untuk merebut sang "power" tersebut. Hal ini tergambarkan khususnya jika kita melihat dengan kacamata realis dimana realis sendiri merupakan sebuah teori yang pada dasarnya menyatakan bahwa apa yang menjadi fokus negara adalah balance of power. Berbicara mengenai power, setiap negara berlomba-lomba untuk mendapatkan power itu karena khawatir dengan keberlangsungan negara tersebut. Sudut pandang mereka adalah negara yang bersaing karena mereka ingin survive. Sama halnya seperti apa yang sedang Amerika hadapi. Untuk mereka, melihat China dengan perkembangan ekonominya yang pesat, pasti negara tersebut akan merasa terancam sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, Amerika setidaknya harus mempertahankan posisinya sebagai negara yang memiliki power.

Hal tersebut juga dapat dibuktikan dari perang dagang antara Amerika dan China yang sedang memanas. Diawali ketika tahun 2018, perang dagang ini dipicu ketika Amerika menuduh China mencuri teknologi sehingga pada waktu itu Presiden Amerika, Donald Trump, memberlakukan tarif impor pada produk China yang dianggap merugikan Amerika. China pun membalasnya dengan memberlakukan tarif impor pada produk Amerika. 

Dua tahun kemudian, yakni tahun 2020, Amerika dan China bersepakat agar  China membeli lebih banyak barang dari Amerika. Berakhirnya perang dagang ini pun dipicu karena terjadi krisis kesehatan akibat COVID-19 dimana kedua negara tersebut sibuk pada negaranya masing-masing dalam menangani krisis. Ditambah lagi adanya konflik Rusia dan Ukraina yang menyebabkan inflasi pada harga komoditas dan pangan. Dalam menanganinya, Amerika memutuskan untuk menaikkan suku bunga agar inflasi menurun. Namun ternyata, keputusan tersebut memperlambat gerak perekonomian Amerika sehingga kesempatan ini digunakan oleh China untuk merebut posisi kekuatan global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun