Mohon tunggu...
M. Indra Riamizad Raicudu
M. Indra Riamizad Raicudu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Malang

Pegiat Literasi Mandiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tan Kena Kinaya Ngapa

28 Januari 2023   12:24 Diperbarui: 28 Januari 2023   12:32 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sudah dinda, tapi emak memintanya setiap Sabtu tanpa sepengetahuanmu. Aku tak berani membantahnya. Ini aku ada sedikit biaya untuk keperluan dapur beberapa hari kedepan. Jangan sampai emak atau saudara-suadaraku mengetahuinya".

Benar firasatku selama ini. Mertuaku menyimpan dendam kepadaku, karena orang tua ku memperlakukan anaknya tak sepatutnya, pantas saja. Rasa tak tenang kembali hinggap. Tak ada keharmonisan di rumah ini setelah kedatanganku. Mau kemana lagi setelah ini? Untuk beli jarum sulam saja aku harus mencari sisa-sisa uang yang terlupakan di celah-celah saku hingga songkok.

Asisten rumah tangga, nah itulah kata yang tepat posisiku di rumah ini. Bangun paling pagi, makan paling akhir sisa-sisa penghuni rumah ini. Tak pernah memegang uang. Diasingkan dalam percakapan. Gerak dibatasi berbagai macam peraturan dan larangan. Omongan pedas sering terlempar tak terperi. 

Sebatang kara diriku rasa selama ini. Tak pernah ingin rasanya membalas. Karena pendidikan moral yang ku terima di surau-surau hingga pesantren tidak membolehkannya, meskipun aku tidak bersalah. Itulah peganganku selama ini dan kata yang selalu ku ucap hanyalah memohon maaf.

***

"Kalau kamu ingin leluasa sebagai seorang istri hanya ada dua pilihan angkat kaki, sudahi saja hubunganmu. Biarkan anakku disini" ucap emak mertuaku memecah keheningan rumah.

Tersayat?, tentu. Malamnya aku berunding mengajak suamiku untuk kontrakan dengan alasan agar mandiri dan pecah pikiran. Berbagai pertimbangan terutama hubungan sah dan diriku yang sedang berbadan dua. Ia mengiyakan.

Aku dan suamiku pamit mohon doa restu agar impian kami bisa terwujud, terutama kesehatan dan keselamatan menjalani hidup jauh dari orang tua. Tapi yang kami dapat hanyalah lirikan tajam, dan doa sebagaimana yang terucap oleh emakku di desa, kalian tidak mungkin bisa makan nasi dengan kecukupan.

***

 Genap dua tahun kami menetap di rumah kontrakan kecil ini ditambah kehadiran bayi yang kini berusia satu tahun tanpa pernah diakui oleh keluarga ayah ibunya membuat yang lalu biarlah sudah. Sejatinya manusia itu dinamis. Begitulah wejangan yang pernah termaktub dalam sebuah buku. Aku penuh keyakinan akan mendidik putra pertamaku ini agar dapat menunjukkan bahwa ia yang tidak diharapkan kehadirannya justru menjadi kebanggaan di keluargaku maupun suamiku. 

Dua puluh satu tahun kemudian. Putraku menjadi sosok seperti yang ku inginkan. Meskipun kisah diatas membuatnya merasa sakit hati. Namun, sebagai orang tua tetap mengarahkannya untuk selalu menaburkan benih kebaikan dalam setiap doa dan perilakunya untuk orang tua maupun mertuaku yang kini telah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun