Sepanjang tahun 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi pusat perdebatan panas dan kritik tajam akibat serangkaian keputusan kontroversial yang dinilai merugikan demokrasi. Di tengah harapan akan tegaknya keadilan, MK justru dituduh melindungi kepentingan oligarki dan mengabaikan suara rakyat. Artikel ini akan menyoroti beberapa keputusan paling kontroversial MK dan kritik-kritik tajam yang menghujam lembaga tertinggi penjaga konstitusi ini.
1. Ambang Batas Pencalonan: Karpet Merah untuk Calon Berduit?
Keputusan MK untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dipandang sebagai upaya untuk memperluas demokrasi, namun kenyataannya lebih banyak dikecam. Kritikus menilai bahwa langkah ini justru memperparah korupsi politik dengan membuka peluang bagi calon-calon yang hanya mengandalkan kekuatan finansial.
Alih-alih melahirkan pemimpin berkualitas, keputusan ini dituduh memperbesar ruang bagi calon-calon yang minim kompetensi namun memiliki modal besar. Hasilnya? Politik uang semakin merajalela, dan demokrasi kian tergadaikan di tangan elite berduit.
2. UU ITE: Kebebasan Berpendapat atau Pintu Gerbang Fitnah?
Dalam putusannya yang menghapus beberapa pasal UU ITE, MK berargumen bahwa kebebasan berpendapat harus dilindungi. Namun, banyak pihak justru mengkritik bahwa MK telah membuka pintu bagi maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang tak terkendali.
Kritik keras datang dari kalangan akademisi dan pengamat sosial yang menganggap keputusan ini sebagai bom waktu bagi masyarakat digital. Tanpa regulasi yang ketat, internet bisa menjadi medan pertempuran fitnah yang menghancurkan reputasi individu dan kehormatan keluarga tanpa ada jalan hukum yang memadai untuk mengatasinya.
3. Revisi UU Pemilu: Memperkuat Oligarki, Mematikan Partai Kecil
Keputusan MK yang mengesahkan revisi UU Pemilu juga tidak luput dari kecaman. Banyak yang melihat revisi ini sebagai upaya sistematis untuk mengokohkan kekuasaan oligarki politik dan mempersempit ruang gerak partai-partai kecil.
Dengan aturan main baru yang lebih menguntungkan partai-partai besar dan calon berduit, proses demokrasi seolah-olah menjadi permainan eksklusif bagi elite yang sudah mapan. Partai-partai kecil dan independen, yang seharusnya menjadi penyeimbang, justru semakin terpinggirkan.