"Rapat Paripurna, kesekian kalinya akan perbedaan dalam argumen. Suasana di ruangan rapat begitu tegang, dengan anggota lembaga saling menatap satu sama lain. Juvan, seorang anggota lembaga, merasa terjepit dalam konflik ini. Ia ingin menyampaikan pandangannya, tetapi takut diabaikan atau ditolak oleh kepala lembaga."
Kepala lembaga, dengan nada tinggi, mengungkapkan keinginannya untuk mengencangkan kurikulum. Ia menentang program kerja yang tidak memiliki manfaat nyata. Juvan merasa tidak sepakat, tetapi ia ragu untuk menyuarakan pendapatnya.
"Kencangkan kurikulum, tak usahlah membuat program kerja yang tak berbau kemanfaatan," kata kepala lembaga dengan tegas.
Juvan melihat tatapan serius dari anggota lembaga lainnya. Ia mengernyitkan dahinya, mencoba mencari keberanian untuk berbicara. Ia merasa program pembelajaran di hari Sabtu harus disesuaikan dengan agenda yang lebih bermanfaat. Ia ingin mengalokasikan waktu tersebut untuk kegiatan ekstra yang dapat memberikan manfaat bagi siswa. Dedikasi Juvan terhadap lembaga dan kabupaten ini begitu besar.
Namun, kata-katanya hanya menimbulkan amarah kepala lembaga. Ia mulai memarahi Juvan tanpa henti. Juvan menerima semua celaan tersebut tanpa mempermasalahkannya. Ia tahu bahwa argumennya benar, terutama mengingat program kerja yang amburadul tahun sebelumnya.
"Sudah sampai mana ilmumu? Berani mereduksi saya di situasi rapat dengan staff yayasan. Kamu benci sama saya. Beres! Aku pergi sekarang," ujar kepala lembaga dengan marah.
Sementara kepala lembaga terkenal tanpa kompromi, Juvan mulai memahami keadaan yang ia hadapi. Kepala lembaga mencari situasi yang memungkinkan dia untuk memutuskan dengan tangan besarnya. Semua anggota lembaga sudah hapal dengan bacaan ritmis tubuh kepala lembaga tersebut.
Juvan mencoba menegur kepala lembaga dengan tegas mengenai program kerja di hari Sabtu. Namun, semakin ia berbicara, semakin tinggi api pertengkaran itu berkobar. Kepala lembaga terus memproklamirkan dirinya sebagai yang paling kompeten dalam hal PPDB. Apapun yang Juvan lakukan pada hari itu, tidak luput dari perhatian dan celaan kepala lembaga.
Puncaknya, Juvan memaparkan analisis SWOT di rapat kedua. Ia menggunakan pengetahuan dan pengalaman ketika masih menjadi anggota UKM. Paparannya mengubah suasana rapat. Argumennya menghujani kepala lembaga tanpa henti, menggantikan dominasi kepala lembaga sebelumnya.
"Tapi bagaimana jika sekolah ini tidak maju? Bisakah kamu menarik 200 siswa?" kata kepala lembaga dengan nada merendahkan.
Juvan tidak terpengaruh oleh nada merendahkan kepala lembaga tersebut. Ia tetap tenang dan menjawab dengan mantap, "Kepala lembaga, saya menghargai kekhawatiran Anda tentang perkembangan sekolah. Namun, dalam analisis SWOT yang saya paparkan, saya juga menyoroti beberapa peluang dan kekuatan yang dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah ini. Saya percaya bahwa dengan memanfaatkan potensi yang ada dan mengadakan strategi yang tepat, kita dapat mencapai tujuan tersebut."