Dalam masa lampau, manusia dianggap sebagai hewan dengan tambahan sesuatu yang lebih (akal budi, roh).Â
Manusia didefinisikan sebagai animal rationale (menurut Aristoteles), yaitu hewan yang memiliki kemampuan rasional.Â
Namun, pandangan ini telah berubah secara signifikan.Â
Di satu sisi, manusia memiliki kesamaan dengan hewan-hewan, dengan suatu cara yang tidak terlalu jelas ia muncul dari alam hewani dengan meninggalkan beberapa sifat hewan.Â
Namun, di sisi lain, sebagai makhluk hidup sebagai organisme jasmaniah, manusia berbeda dengan hewan-hewan.
Ernest Cassirer Ahli biologi menyatakan bahwa meskipun reaksi manusia terhadap dunia luar lebih lambat, manusia memiliki kemampuan yang sangat penting dalam memberikan reaksi tersebut.Â
Reaksi itu terlambat karena melibatkan tahapan peralihan, yaitu refleksi, tetapi penundaan ini memiliki fungsi simbolis bagi manusia. Manusia tidak pernah hidup di dunia yang hanya berfokus pada fakta-fakta semata.Â
Sebaliknya, manusia menerima dan mengolah data-data melalui simbol-simbol seperti bahasa, agama, ilmu pengetahuan, dan seni. Manusia dianggap sebagai animal symbolicum, dan dunia manusia merupakan dunia yang diinterpretasikan.Â
Manusia tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan data biologis, tetapi melalui tindakan kebudayaannya. Manusia menjadi manusia bukan karena faktor internal seperti naluri atau akal budi, melainkan karena pekerjaan dan kebudayaannya.
Pertanyaan tentang siapa yang pertama kali menggunakan istilah "hewan berakal budi" (rational animal) sering diperdebatkan.Â
Banyak orang berpendapat bahwa istilah ini pertama kali muncul dalam metafisika Aristoteles, tetapi sebenarnya Aristoteles sendiri tidak memberikan definisi seperti itu.Â