Kampus, sekolah, serta lembaga kursus yang saat ini operasionalnya dilakukan secara daring, atau belajar dari rumah (study from home). Demikian juga dengan sektor ekonomi, sejumlah hotel terkena dampak korona dengan menurunnya kunjungan tamu sehingga berimbas pada pendapatan.
Dalam hemat saya, sejumlah dampak yang ditimbulkan oleh korona inilah yang membuat orang tak henti-hentinya membicarakannya: dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Ditambah lagi, setiap sore adanya konferensi pers dari Juru Bicara Pemerintah Khusus Penangan Covid-19 yang di dalamnya turut menginformasikan himbauan, larangan, serta sejumlah kasus positif, sembuh, meninggal dunia, ODP, dan PDP Covid-19. Hal ini semakin menambah daftar panjang pembaca, pembahas, dan pencari informasi seputar korona.
Perhatian masyarakat pada isu korona semakin meluas, betulkah selaras dengan pepatah Arab di atas? Secara tegas saya katakan tidak betul dalam konteks saat ini. Pasalnya, orang membicarakan korona bukan karena menyukainya, tetapi lebih pada kehati-hatian agar wabah korona tidak menimpa padanya.
Wajar manakala masyarakat mencari informasi seputar korona, karena ia masuk dalam radar baru jenis penyakit dan tingkat penularannya sangat cepat. Dengan demikian masyarakat membutuhkan literasi yang kuat seputar korona.
Walau tak sedikit pihak yang menghimbau untuk menghentikan pembicaraan seputar korona. Adapun alasan penyertanya bahwa dengan membicarakannya telah menciptakan ketakutan pada diri pembaca, sehingga dapat memunculkan trauma dan sejenisnya.
Lalu sampai kapan orang akan terus membicarakan korona? Menjawab pertanyaan ini saya akan meminjam teori pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa salah satu teori yang terdapat di dalam Sosiolinguistik, suatu ilmu yang secara khusus mengkaji bahasa dari fenomena sosial.
Pembicaraan seputar korona akan terus dibicarakan masyarakat hingga mata rantai penyebarannya terputus. Dalam kajian pemakaian bahasa, leksikal korona untuk saat ini telah menjadi fakta bahasa yang mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia.
Semua jenjang usia pernah mendengarkannya. Paling tidak seorang anak mendengar melalui ibunya yang melarang untuk tidak beraktivitas di luar rumah agar terhindar dari wabah korona. Paling tidak anak-anak remaja mendengar langsung dari Ketua RT yang melarang berkumpul guna memutus mata rantai penyebaran korona.
Kedua fakta bahasa yang dikemukakan di atas menjadi sulitnya korona dihilangkan dari pembicaraan sehari-hari. Bahkan dengan munculnya larangan dari ibu kepada anaknya serta Ketua RT kepada remaja semakin membuat mereka bertanya-tanya ada apa dengan korona?
Terhadap pertanyaan ini kembali menambah daftar panjang tentang keingintahuan mereka pada korona.