Jumlah penduduk di Indonesia perjanuari di tahun 2023 mencapai 273,52 juta jiwa dan menjadi negara dengan populasi terbesar pertama di Asia Tenggara. Seharusnya hal ini menjadi keuntungan dengan sumberdaya manusia yang melimpah harusnya mampu menjadi pusat perekonomian dikawasan Asia Tenggara. Namun, dalam indeks pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 pada kuartal ke III Indonesia menempati posisi ke empat dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.
Nampaknya upaya pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 membutuhkan waktu yang cukup lama. Omnibus Law yang diundangkan pada tahun 2020 di Indonesia menimbulkan kontroversi yang cukup besar, terutama terkait dengan dampaknya terhadap perempuan. Sebagai sebuah undang-undang yang mencakup berbagai bidang, Omnibus Law memiliki potensi untuk memberikan konsekuensi yang signifikan terhadap pemberdayaan perempuan, baik secara positif maupun negatif.
Omnibus Law memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi pemberdayaan perempuan di Indonesia. Beberapa ketentuan dalam Omnibus Law, seperti pengurangan biaya investasi dan perlindungan hak atas tanah, dapat meningkatkan akses perempuan dalam berwirausaha dan memperkuat posisi mereka di dalam dunia kerja.Â
Namun, terdapat juga beberapa ketentuan dalam Omnibus Law yang berpotensi memberikan dampak negatif bagi perempuan, seperti penurunan standar lingkungan dan kesehatan, yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan perempuan yang bekerja di sektor tertentu.Â
Misalnya melalui pendekatan kebijakan yang lebih mengarah pada peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, seperti dalam UU Cipta Kerja beserta PP No. 5 Tahun 2021. Peraturan ini dinilai terlalu merugikan para pekerja terutama kelompok perempuan.
Kemunculan Omnibuslaw Cipta Kerja sejatinya memiliki muatan politik yang menguntungkan kelompok pengusaha dan melonggarkan perlindungan terhadap kelompok pekerja dan terutama perempuan. Apalagi PMI (Pekerja Migran Indonesia). Melalui peraturan Omnibus Law justru perlindungan terhadap kelompok pekerja migran mengalami penurunan, padahal mereka adalah penyelamat devisa negara dan penyumbang APBN dengan nilai sebesar 10%.
kekhawatiran bahwa Omnibus Law dapat memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada di Indonesia. Beberapa ketentuan dalam Omnibus Law, seperti kemudahan PHK dan penghapusan pesangon, dapat merugikan pekerja perempuan yang cenderung lebih rentan mengalami PHK dan kesulitan dalam mencari pekerjaan baru. Selain itu, beberapa ketentuan Omnibus Law juga tidak mengakomodasi kebutuhan dan hak-hak perempuan, seperti hak atas cuti melahirkan dan hak atas pengasuhan anak.
Hal ini merupakan bentuk penghianatan pemerintah terhadap kelompok pekerja yang telah berkontibusi besar terhadap pendapatan negara. diperlukan upaya yang serius dari pemerintah dan masyarakat untuk memastikan dengan hati-hati dalam membuat kondifikasi hukum Omnibus Law agar tetap koheren dengan kebutuhan masyarakat dan tidak memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada. Selain itu, perlunya dukungan dari semua pihak untuk mengadvokasi hak-hak perempuan dan mendorong pembentukan kebijakan yang responsif gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H