Mohon tunggu...
M Rizky Ganda
M Rizky Ganda Mohon Tunggu... Animator - Dosen

Seseorang yang mengisi waktu dengan mengajar dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Sudah Berkali-kali Tapi Capresnya Itu-itu Saja

15 Oktober 2022   15:54 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:00 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu 2024 hanya tersisa kurang dari dua tahun lagi. Media dan lembaga survei sudah ramai membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan dipilih menjadi calon presiden. Dari sekian banyak pemberitaan mengenai calon Presiden, ada satu nama yang tidak pernah hilang yaitu Prabowo Subianto. 

Pada hari Jumat, 12 Agustus 2022 dalam acara Rapat Pimpinan Nasional 2022 yang diselenggarakan di Sentul International Convention Center (SICC) Sentul, Bogor, Jawa Barat ketua umum partai Gerindra, Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya untuk kembali mencalonkan diri menjadi calon Presiden pada pemilu 2024. 

Deklarasi ini tidak terlepas dari permintaan 34 dewan pimpinan daerah partai Gerindra seluruh Indonesia untuk kembali mencalonkan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden dari partai Gerindra pada pemilu 2024. Prabowo pertama kali mencalonkan diri sebagai Presiden pada pemilu 2014 berpasangan dengan Hatta Rajasa, lalu pada pemilu 2019 Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2019 berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno. 

Melalui keputusan ini, artinya Prabowo akan kembali dicalonkan sebagai calon presiden dari partai Gerindra untuk ketiga kalinya. Jauh sebelum itu semua, Prabowo juga pernah mencalonkan diri sebagai wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri. Jadi jika ditotalkan, Prabowo Subianto sudah empat kali maju dalam kontestasi Pemilu. 

Melihat hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan, mengapa kemudian Prabowo lagi Prabowo lagi yang partai tawarkan sebagai calon Presiden? Apakah tidak ada orang lain yang lebih layak untuk dicalonkan?

Calon Presiden yang itu-itu saja membuat pemilu menjadi begitu monoton dan membosankan. Masyarakat seolah-olah tidak memiliki pilihan lain dan harus pasrah menerima calon yang telah ditawarkan oleh partai politik. Terdapat beberapa pokok alasan yang menjadi penyebab calon presiden pada setiap kali pemilu hanya diikuti oleh orang itu-itu saja.

Presidential Threshold

Pemilihan umum tahun 2004 merupakan pemilihan presiden pertama kali yang dilakukan secara langsung. Pemilu 2004 juga menjadi penanda awal diberlakukannya penerapan sistem presidential threshold atau lebih dikenal dengan ambang batas. Aturan ini tertuang dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 ayat 4 yang berbunyi: 

Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR. 

Hasilnya, pemilu 2004 diikuti oleh lima pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan berlangsung selama dua putaran. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama yang langsung dipilih oleh rakyat.

Pada Pemilu 2009 terdapat perubahan ketentuan besaran presidential threshold seiring diberlakukannya UU pemilu yang baru. Dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 9 yang berbunyi: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 

Dengan adanya ketentuan baru ini, telah menyusutkan pasangan capres yang sebelumnya pada pemilu 2004 terdapat lima pasang calon, sedangkan pada pemilu 2009 hanya diikuti tiga pasang calon. Hasil dari pemilu ini, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono--Boediono berhasil mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Pada pemilu 2014, tidak ada perubahan ketentuan besaran presidential threshold. Pada pemilu ini, hanya diikuti dua pasang calon yaitu pasangan Joko Widodo--Jusuf Kalla dan pasangan Prabowo Subianto--Hatta Rajasa. Jumlah ini kembali menyusut dimana pada pemilu 2009 ada tiga calon pasangan.

Kemudian pada pemilu 2019 pemerintah dan DPR kembali melakukan revisi Undang-Undang Pemilu. Akan tetapi pasal yang mengatur jumlah besaran presidential threshold tidak mengalami perubahan isi. Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Pemilu 2019 lagi-lagi hanya diikuti dua pasang calon. yaitu duel ulang antara Joko Widodo melawan Parbowo Subianto yang berbeda hanya pasangan calon wakil presidennya.

Di Indonesia, presidential threshold atau ambang batas diberlakukan dengan tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintahan dapat berjalan dan tidak mengalami kesulitan dalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif saat menjalankan pemerintahannya di kemudian hari. Aturan presidential threshold dianggap menjadi salah satu cara penguatan sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Merujuk pada maksud dan tujuan tersebut, terdapat kekeliruan dan pembelokan makna terkait presidential threshold. 

Menurut Mark J. Payne dalam bukunya yang berjudul Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America, dalam praktik ketatanegaraan di negara yang menganut sistem presidensial, presidential threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan (Payne, Zovatto, and Diaz 2007). Pipit R. Kartawidjaja memaknai presidential threshold sebagai syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden. 

Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45% atau 40% asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya (Pipit R. Kartawidjaja 2014). Jika mengacu pada pendapat tersebut, pemberlakuan presidential threshold seharusnya bukan untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan untuk menentukan presentase suara minimum seseorang untuk menjadi presiden.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, sebagai negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon Presiden cukup sederhana. Mereka yang mencalonkan diri menjadi Presiden harus kelahiran AS, telah menetap di AS minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun dan tidak pernah melakukan tindakan kriminal. 

Tidak ada syarat lain yang mengharuskan calon berasal dari partai politik terlebih lagi syarat dukungan dari partai politik yang memiliki jumlah suara tertentu di kongres. Berkat persyaratan yang mudah ini, pada pemilihan Presiden Amerika tahun 2020, meskipun yang paling banyak diberitakan media hanya pertarungan antara Trump melawan Biden, namun sebetulnya Pilpres Amerika 2020 diikuti sebanyak 36 calon Presiden. 

Contoh lainnya, Filipina negara yang letaknya tidak jauh dari Indonesia dan sama-sama menggunakan sistem presidensial yang mana Presidennya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. beberapa bulan yang lalu Filipina baru saja melakukan pemilihan Presiden dengan diikuti oleh 10 calon Presiden. Sama seperti Amerika, Filipina tidak menjadikan presdiential threshold sebagai syarat pencalonan Presiden. Di Filipina siapapun bisa mencalonkan diri menjadi Presiden secara perseorangan/independen.

Berbeda dengan negara yang menggunakan sistem presidensial lainnya, di Indonesia siapapun yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden harus melewati jalan yang panjang. Ia harus lebih dulu menjadi anggota partai politik, lalu kemudian memastikan apakah partai politiknya memiliki cukup suara untuk mencapai ambang batas. 

Presidential threshold 20% menjadi jalan terjal bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan kadernya menjadi Presiden terlebih lagi bagi seseorang yang memilih untuk tidak berpartai. Aturan ini hanya menguntungkan partai-partai besar dan membuat pengaruh oligarki semakin meluas. Selain membatasi seseorang untuk menjadi calon Presiden, syarat ambang batas untuk pencalonan membuat potensi transaksional dalam pembentukan koalisi semakin besar. Partai-partai akan dipaksa berkoalisi hanya untuk memenuhi syarat aturan threshold. 

Koalisi ini menjadi tidak alamiah atau tidak berdasarakan kesamaan ideologi seperti yang seharusnya. Sebetulnya aturan presidential threshold ini sudah berulangkali digugat di Mahkamah Konsitusi namun belum ada satupun gugatan yang dikabulkan. Akan tetapi hal ini cukup untuk dipahami bahwa aturan presidential threshold yang digunakan di Indonesia ini bermasalah.

Gagal Regenerasi 

Selain permasalahan sistemik seperti threshold yang tinggi, kegagalan partai politik dalam melakukan regenerasi juga menjadi salah satu faktor yang menghambat munculnya tokoh-tokoh baru yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai Presiden berikutnya. Regenerasi dalam partai politik merupakan mekanisme internal partai politik yang harus dilakukan agar partai politik tetap dapat kompetitif dan merespon dengan baik dinamika politik, sosial, ekonomi yang terus berubah dengan cepat. 

Regenerasi dalam partai politik berkaitan dengan bagaimana partai politik melakukan rekrutmen terhadap anggota, karena kaderisasi yang baik di dalam partai politik akan mendorong proses regenerasi kepemimpinan bangsa. Regenerasi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai membutuhkan kader-kader yang berkualitas dan ini hanya bisa didapatkan jika partai mendukung dan memberikan kesempatan penuh kepada kader-kadernya untuk mengembangkan diri. 

Misalnya dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan memberikan posisi yang strategis bagi mereka yang mana biasanya hanya menjadi milik elit-elit partai saja. Jika proses regenerasi ini ini berjalan dengan baik, partai-partai akan mendapatkan kader-kader yang berkualitas sehingga partai tidak akan lagi kesulitan untuk menentukan dan meneruskan kepemimpinannya kedepan dan memiliki peluang besar untuk mengajukan calonnya sendiri dalam bursa pencalonan kepala daerah atau bahkan Presiden.

Akan tetapi hal ini menajadi sulit dilakukan karena partai-partai politik sudah terlalu nyaman dengan tokoh sentral yang mereka miliki. Hal ini diakibatkan karena partai-partai politik di Indonesia masih terjebak dengan karakter personalistik dimana partai lebih banyak membebankan citra partai pada pola patronase yang kuat dengan sosok pemimpin yang kharismatik (Gunther and Diamond 2001). Model kepemimpinan politik yang masih mempertahankan pola hierarkis sentralistik seperti itu jika terus dibiarkan kedepannya akan menjadi pekerjaan rumah utama bagi partai politik yang harus segera dibenahi. Karena selain menghalangi proses pelembagaan partai secara demokratis, hal tersebut juga menghambat proses regenerasi partai politik.

Kegagalan regenerasi dalam partai politik seolah-olah menjadi fenomena yang wajar. Dari kongres ke kongres pemilu ke pemilu, tokoh-tokoh politik saat ini masih diisi oleh tokoh-tokoh lama yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa hasrat para politisi senior telah menghalangi terbukanya katup-katup kepemimpinan berikutnya. Partai politik telah gagal menciptakan sirkulasi regenerasi yang sehat yang dapat memunculkan tokoh-tokoh baru yang lebih relevan bagi kebutuhan umum. Hal ini tentu saja berpengaruh pada proses seleksi kepemimpinan nasional. Partai-partai tidak memiliki keberanian untuk mencalonkan tokoh-tokoh baru, mereka hanya akan terfokus pada tokoh lama yang sudah ada. Program regenerasi kader harus menjadi perhatian penting setiap partai politik dan harus segera dilakukan agar terjadi penyegaran kepemimpinan politik dan untuk menghindari penilaian publik bahwa tokoh-tokoh senior partai politik hanya mempertahankan status quonya.

Kita sudah melihat nama dan wajah Parbowo Subianto dalam surat suara pemilu sebanyak tiga kali. Dan jika tetap sesuai rencana, pemilu 2024 nanti akan menjadi kali keempat kita melihat nama dan wajah Prabowo Subianto dalam surat suara. Padahal dari data terbaru yang disajikan Kementerian Dalam Negeri, Indonesia memiliki 20,69 juta penduduk yang berusia diatas 40 tahun. Setidaknya, usia tersebut telah mencukupi salah satu syarat untuk menjadi calon Presiden di Indonesia. Apakah dari 20,69 juta penduduk tidak ada lagi yang pantas untuk dicalonkan sebagai Presiden? Dengan jumlah tersebut, seharusnya partai politik mampu mencari dan menjaring calon-calon Presiden baru yang berasal dari akar rumput dan tentunya dikehendaki oleh rakyat.

Untuk itu, sebaiknya, aturan presidential threshold 20% segera dihapuskan atau kembali pada konteks dan ketentuan sebenarnya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat 3 dan 4. Karena dalam sistem presidensial, lembaga Presiden dan Parlemen merupakan dua institusi yang terpisah yang memiliki basis legitimasi yang berbeda. Oleh karena itu, aturan ketentuan presidential threshold menjadi tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia. Terlebih lagi pemilu saat ini dilakukan secara serentak baik pemilihan Presiden maupun pemilihan Legislatif.

Jika memang partai mengalami kesulitan dalam proses regenerasi kader yang mana kemudian berbuntut panjang pada proses seleksi dan penentuan calon Presiden. sebaiknya praktik demokrasi dilakukan lebih awal melalui sarana konvensi calon Presiden. Setiap partai politik membuka ruang seluas-luasnya bagi yang ingin mencalonkan diri menjadi Presiden baik itu elit partai, pengurus ataupun masyarakat umum dipersilahkan mengajukan diri dalam konvensi calon Presiden yang telah disediakan oleh masing-masing partai. Meskipun akan membutuhkan cost yang besar, hasil yang didapat dari sistem konvensi ini akan sepadan dengan yang diharapkan. Setidaknya, selain baik untuk proses regenerasi kepemimpinan nasional, adanya konvensi menjadikan kompetisi bakal calon Presiden menjadi lebih terbuka dan fair. Sehingga pembicaraan dan pengambilan keputusan terkait siapa yang akan dicalonkan menjadi Presiden yang biasanya hanya menjadi pembicaraan elit-elit partai dan terkesan sentralistis menjadi lebih demokratis. Karena selain dipilih langsung oleh rakyat, Presiden juga seharusnya mendapat mandat langsung dari rakyat.

Artikel ini dibuat bukan untuk mengajak masyarakat menolak sesorang menjadi calon presiden karena itu merupakan hak dari setiap warga negara. Artikel ini dibuat justru untuk mempertanyakan kenapa hanya orang-orang itu saja yang bisa menjadi calon Presiden seolah-olah hanya mereka yang berhak menjadi presiden di Indonesia. Demokrasi telah mebuka ruang luas bagi siapapun untuk memimpin negara. Untuk itu sebaiknya syarat pencalonan Presiden harus dibuat lebih sederhana dan tidak terkesan membatasi seseorang untuk menjadi calon Presiden. Semakin banyak alternatif calon Presiden, maka peluang Presiden untuk dikendalikan oligarki akan semakin menipis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun