Mohon tunggu...
M. Iip Wahyu Nurfallah
M. Iip Wahyu Nurfallah Mohon Tunggu... Penulis - ASN Pemerintah Kota Bima

Politik, Hukum dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Paksaan Pemerintah (Bestuursdwang) sebagai Sanksi dalam Hukum Administrasi

5 Agustus 2024   11:38 Diperbarui: 5 Agustus 2024   11:46 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum administrasi. Pada umumnya tidak ada gunanya memasukkan kewajiban-kewajiban atau larangan bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala aturan-aturan tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara (dalam hal dimaksud diperlukan). Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum administrasi sesuai dengan ketentuan hukum pidana. ). Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang bertentangan tanpa disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum administrasi yang khas, antara lain seperti paksaan pemerintah (bestuursdwang).

Istilah yang dahulu berlaku bagi bestuursdwang, adalah politiedwang, yaitu istilah yang masih ditemukan di dalam banyak kepustakaan penting dan yurisprudensi. Maknanya adalah sama, namun pilihan bagi penggunaan istilah bestuursdwang, adalah untuk mengakhiri kesalahpahaman yang dapat ditimbulkan oleh kata politie dalam penyebutan politiedwang (paksaan polisi). Polisi sama sekali tidak perlu dilibatkan dalam pelaksanaan bestuursdwang. Hal ini terjadi jika diperkirakan adanya perlawanan fisik atau terdapat alasan lain yang memerlukan bantuan polisi berupa pengawalan atau pengawasan. Dalam praktiknya bahkan para pegawai tidak selalu harus melaksanakan sendiri tindakan bestuursdwang itu karena badan tata usaha negara dapat menugaskan hal tersebut pada badan pemborong swasta.

Berdasarkan hal di atas maka, tidak selalu diperlukan paksaan dalam bentuk kekuatan fisik. Pemaksaan terletak dalam kenyataan bahwa warga yang dipandang lalai oleh kekuasaan pemerintah yang sah menurut hukum dipaksa memenuhi undang-undang. Pelaksanaan bestuursdwang secara prinsip berbeda dengan pemberian pidana. Bestuursdwang bertaut dengan pelaksanaan undang-undang, bukan penindakan pada pelanggar. Pada pengenaan pidana dapat beperan adanya maksud untuk pertambahan derita, akan tetapi tidak demikian halnya dengan bestuursdwang tidak dirasakan selaku pidana oleh warga.

Secara umum paksaan pemerintah (bestuursdwang / administrative enforcement/ executive coercion) merupakan suatu wewenang, bukan sebuah kewajiban. Sebelum menjalankan bestuursdwang, badan pemerintah wajib mempertimbangkan semua kepentingan yang berkaitan antara satu sama lain baik kepentingan pemerintah itu sendiri, koorporasi dan masyarakat. Sangat mungkin bahwa suatu lembaga tata usaha negara bermaksud membatalkan niatnya semula untuk mengadakan bestuursdwang. Dalam penerapnnya badan tata usaha negara harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu aspek pro dan kontra dari pelaksanaan bestuursdwang.

Penerapan bestuursdwang, dilihat dari sudut pandang sejarah, di masa lalu dengan sendirinya dianggap bahwa tata usaha negara bertugas mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyesuaikan keadaan nyata dengan apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang, bila warga melalaikannya. Maka dapat dikatakan bahwa kewenangan bestuurdwang merupakan konsekuensi dari tugas pemerintah, yakni kenyataan bahwa suatu badan tata usaha negara telah dibebani tugas guna melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan. 

Badan pemerintah itu dan bukan yang lain memiliki kewenangan bestuurdwang. Seperti yang terjadi di Belanda, telah lama terdapat situasi bahwa untuk semua hal yang dapat dibayangkan, kewenangan bestuurdwang diatur oleh undang-undang. Lambat laun, oleh karena kewenangan bestuurdwang selalu diatur di dalam berbagai undang-undang maka dapat ditetapkan bahwa bestuursdwang hanya dapat diterapkan manakala untuk itu terdapat kewenangan yang diberikan dengan tegas oleh suatu perundang-undangan. Pada dewasa ini, suatu badan tata usaha negara tidak lagi begitu saja menegaskan bahwa ia berwenang menjalankan bestuursdwang manakala wewenang dimaksud tidak berdasarkan pada undang-undang.

Mempertimbangkan aspek pro dalam penerapan bestuursdwang antara lain yaitu dengan mempertimbangkan kepentingan umum yang dirugikan oleh suatu keadaan ilegal, kepentingan pencegahan atau pengelakan dari pengaruh suatu preseden yang timbul dan kepentingan pihak ketiga atau pihak yang ikut menjadi dampak dari tindakan bestuursdwang  tersebut. Apabila ketiga aspek tersebut dapat dipenuhi kebutuhannya maka tindakan bestuursdwang dapat dijatuhkan sebagai salah satu sanksi dalam lingkup hukum administrasi.

Sedangkan aspek kontra dalam penerapan bestuursdwang yaitu mempertimbangkan kepentingan dari pelanggar dengan dipertahankannya keadaan yang ilegal, adanya masalah-masalah praktis dan ketidakmungkinan yang timbul, pembiayaan operasional yang tinggi dan adanya alternatif penindakan lain sesuai ketentuan dalam hukum pidana. Apabila ketiga aspek tersebut terpenuhi maka suatu badan tata usaha negara tidak berhak menggunakan bestuursdwang sebagai sanksi dalam suatu perkara hukum administrasi.

Pada umumnya sangat sulit membedakan pertimbangan yang berdasarkan pada kepentingan dalam menentukan pro dan kontra terhadap penerapan suatu bestuursdwang, Oleh karena itu dalam tata usaha negara terletak kewajiban untuk berikhtiar mengadakan penilaian yang seimbang mungkin. Seperti yang terjadi di Belanda seorang hakim menguji pertimbangan atas kepentingan yang layak atau tidak masuk akal dalam penerapan asas-asas pemerintahan yang baik yang berlaku, namun kadangkala mengambil suatu jarak tertentu pada pertimbangan itu sendiri hal ini juga sering kali terjadi di Indonesia apabila terjadi sengketa akibat tindakan bestuursdwang.

Biasanya di dalam pertimbangan terhadap kepentingan, suatu peran tindakan atau keadaan yang terlarang dapat dilegalisasi. Dengan itu dimaksudkan bahwa memang benar pelanggar bertindak tanpa izin (dispensasi atau pembebasan), tetapi bila ia memohon, maka dapat diberikan izin. Sebelum memutuskan untuk menjalankan bestuursdwang, tata usaha negara harus menyelidiki kemungkinan itu. Bila pemberian izin dimungkinkan atau agaknya dimungkinkan maka bestuursdwang tidak dapat diadakan.

Adanya kemungkinan pengujian oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara kadangkala menyulitkan bagi tata usaha negara, tetapi pada sisi lain memberikan juga keuntungan besar pada tata usaha negara. Setelah hakim mempertimbangkan dan menolak banding. Maka sudah pasti tata usaha negara secara hukum dapat melaksanakan peringatan/perintah tertulis. Peringatan tersebut tentu saja memiliki kekuatan hukum secara formal dan juga keabsahan surat perintah/peringatan itu tidak perlu dipersoalkan lagi. Dengan demikian, maka akan terhindar dari risiko bahwa pemerintah telah memerintahkan penggusuran terhadap sebuah bangunan, kemudian perintah itu dilaksanakan kemudian ternyata ditemukan kecacatan yang melanggar hukum pada perbuatan tersebut.

Selain itu Undang-undang memberikan wewenang membebankan biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan bestuursdwang pada pelanggar. Pembebanan biaya hampir selalu dianggap patut, namun terdapat keadaan-keadaan yang dipandang tidak pantas membebankan biaya pada pelanggar. Misalnya, pelanggar bertindak dengan izin pemerintah, tetapi kemudian ternyata pegawai-pegawai bersangkutan telah melakukan kekeliruan yang besar. Dalam hal ini, bestuursdwang mungkin masih diperlukan, tetapi pembebanan biaya agaknya jelas tidak patut.

Dalam hal penerapan bestuursdwang, tata usaha negara harus pula memperhatikan syarat-syarat kecermatan. Tata usaha negara selayaknya tidak menimbulkan kerugian yang berlebihan bagi yang berkepentingan. Pembongkaran tidak perlu dilakukan secara kasar. Pada pengosongan ruang tinggal yang dihuni secara ilegal, perabot rumah tangga harus diperlakukan dengan hati-hati. Benda-benda berharga tidak boleh ditinggalkan tak terjaga. Terhadap cara tindakan nyata tidak dimungkinkan banding, karena tidak menyangkut ketetapan atau bukan perbuatan hukum. Namun demikian, tindakan tata usaha negara yang tidak cermat dapat merupakan alasan untuk melawan pembebanan biaya. Berdasarkan Pasal 1401 BW Belanda dan Pasal 1365 BW Indonesia, juga dimungkinkan suatu proses karena tindakan-tindakan penguasa yang melanggar hukum tersebut.

Akan tetapi suatu perkembangan baru, adalah bahwa adanya alternatif yang diberikan oleh pembuat undang-undang kepada badan yang berwenang melakukan bestuursdwang untuk mengenakan uang paksa pada yang berkepentingan sebagai pengganti bestuursdwang. Uang tersebut akan hilang untuk tiap kali pelanggaran diulang atau untuk tiap hari ia masih berlanjut. Uang paksa terutama dimaksudkan untuk dijalankan atau akan berlaku apabila suatu sanksi yang terlalu berat. Pada masa yang akan datang, undang-undang dalam semua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun