Mohon tunggu...
M. Iip Wahyu Nurfallah
M. Iip Wahyu Nurfallah Mohon Tunggu... Penulis - ASN Pemerintah Kota Bima

Politik, Hukum dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konvensi Ketatanegaraan: Warna Baru Budaya Bangsa dalam Bingkai Ketatanegaraan

25 Januari 2024   09:05 Diperbarui: 25 Januari 2024   09:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena menarik muncul dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 16 Agustus 2023 lalu. Rapat yang biasanya dihadiri oleh para pejabat negara yang biasanya mengenakan pakaian formal ketatanegaraan berupa jas hitam resmi kini berubah dengan adanya warna warni kebudayaan berupa pakaian adat daerah yang dikenakan oleh beberapa pejabat negara yang menghadiri acara tersebut, seperti presiden, ketua DPR RI dan unsur-unsur pimpinan lainnya. 

Praktek penggunaan pakaian adat dalam acara kenegaraan tersebut bukanlah yang pertama, sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir praktik tersebut juga sudah beberapa kali dilakukan tepatnya dalam upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus yang diselenggarakan setiap tahunnya. Dalam kacamata ketatanegaraan tindakan dan praktik ini disebut dengan Konvensi Ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum ketatanegaraan yang lahir dari kebiasaan dan perilaku penyelenggara negara.

Konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention merupakan istilah dari sebuah praktik-praktik ketatanegaraan yang identik dengan kebiasaan atau sering juga disebut sebagai kebiasaan ketatanegaraan dikarenakan bentuknya yang tidak tertulis dan lahir dari dengan sendirinya dari perilaku ketatanegaraan yang dilakukan pejabat tata usaha negara dan masyarakat, sehingga praktik tersebut tidak dimuat dalam konstitusi maupun suatu aturan tertulis (law in the books). Praktek ketatanegaraan ini pada umumnya sering dilakukan di negara yang menganut sistem hukum common law yang ketentuan utama hukumnya bukan berasal dari suatu peraturan perundang-undangan melainkan dari preseden-preseden yang sebelumnya sudah ada atau yang biasa disebut dengan yurisprudensi. Dalam implementasinya konvensi ketatanegaraan kerap kali menjadi alat yang merubah konstitusi melalui jalur non formal. Contohnya seperti yang terjadi di Inggris dimana dimana peraturan tertulis dengan tegas menentukan bahwa Persetujuan dari Ratu diperlukan dalam mengesahkan Undang-Undang (The Queen’s assent is required for a valid Act of Parliament) telah berubah dan berkembang menjadi Ratu harus selalu menyetujui suatu rancangan undang-undang (The Queen must always assent to a bill).

Konvensi ketatanegaraan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya ternyata tidak cuma terjadi di negara yang menganut sistem hukum common law, akan tetapi di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, sebuah konvensi ketatanegaraan turut dijadikan sebagai salah satu sumber dari konstitusi ketatanegaraan. Contohnya seperti yang terjadi di Belanda yang menganut sistem hukum civil law, setelah jatuhnya kabinet karena penolakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Menteri Keuangan Belanda, sejak itu terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Belanda. Seperti yang dikemukakan oleh Kranenburg dalam bukunya yang berjudul “Het Nederlandsch Staatsrecht”, dalam sistem pertanggungjawaban Menteri yang dianut semula, pihak pemerintah selalu memenangkan perselisihan yang terjadi dengan parlemen (overwicht van het cabinet)

Setelah jatuhnya kabinet karena penolakan anggaran pendapatan dan belanja negara itu, setiap kali ada perselisihan yang timbul antara pemerintah dan parlemen, parlemen lah yang menang, dan cabinet harus berhenti. Sistem ini tidak diatur dalam Grondwet Kerajaan Belanda, tetapi timbul dan hidup sebagai konvensi yang mengatur ketentuan dalam undang-undang dasarnya. (Kraneburg : 1947). 

Konvensi ketatanegaraan yang merubah sebuah konstitusi tertulis seperti itu juga sudah pernah terjadi di Negara Indonesia yang menganut sistem hukum civil law. Hal tersebut terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan dimana dalam ketentuan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum mengalami amandemen menyatakan bahwa Menteri Negara adalah pembantu Presiden oleh karena itu bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, akan tetapi dalam prakteknya peraturan tersebut berubah menjadi Menteri yang sudah ditentukan harus bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan semacam lembaga perwakilan rakyat pada masa itu.

Seiring perkembangannya di zaman yang modern ini, konvensi ketatanegaraan sendiri tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah kebiasaan ketatanegaraan yang dapat mengubah konstitusi semata, akan tetapi konvensi ketatanegaraan juga dapat menjadi pelengkap bagi konstitusi itu sendiri. Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia sendiri, hal tersebut telah dibuktikan dengan lahirnya beberapa konvensi ketatanegaraan yang bersifat seremonial tanpa mengubah ketentuan dan nilai yang terkandung dalam UUD 1945 seperti pidato kenegaraan Presiden dalam rapat paripurna tahunan DPR RI yang diselenggarakan setiap tanggal 16 Agustus, upacara peringatan hari kemerdekaan yang diselenggarakan setiap tanggal 17 Agustus, foto Presiden dan Wakil Presiden yang dipajang di setiap kantor/ruangan badan penyelenggara urusan negara dan lain sebagainya. Akan tetapi yang paling menarik, salah satu konvensi ketatanegaraan yang sedang marak dan mulai berkembang di Negara Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini adalah penggunaan pakaian adat daerah dalam acara-acara kenegaraan. Penggunaan pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan tersebut secara teori dapat dikatakan sebagai sebuah konvensi ketatanegaraan baru yang tumbuh dan berkembang di tengah era globalisasi modern ini. Penggunaan pakaian adat dalam acara kenegaraan dalam kedudukannya sebagai sebuah konvensi ketatanegaraan dapat diakui eksistensinya apabila dalam praktek tersebut tidak terdapat unsur penolakan baik oleh para penyelenggara negara, politisi dan masyarakat luas pada umumnya. Pada dasarnya penggunaan pakaian adat daerah dalam acara-acara kenegaraan ini membawa beberapa dampak positif dalam proses perkembangan dan penguatan budaya Indonesia.

Pertama, penggunaan pakaian adat dari berbagai daerah pada suatu momen tertentu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa dari berbagai daerah. Terutama pada momen-momen sakral seperti pada Upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, penggunaan pakaian adat dapat mengingatkan kita bahwa sejatinya sejarah kemerdekaan Indonesia berhasil diraih karena perjuangan-perjuangan tokoh-tokoh dan rakyat Indonesia dari berbagai suku dan adat yang memiliki beban sepenanggungan dan semangat yang sama. Sehingga praktek penggunaan pakaian adat dalam momen sakral ini secara tidak langsung menggambarkan tentang bagaimana masyarakat dari berbagai suku dan adat berbeda yang ada di Indonesia berkumpul dan dipersatukan oleh sebuah semangat kebersamaan dan semangat kemerdekaan yang sama pada momen tersebut.

Kedua, penggunaan pakaian adat dalam berbagai acara kenegaraan juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan rasa cinta kepada Tanah air terutama produk lokal. Ciri-ciri dari rasa cinta terhadap tanah air yaitu adanya rasa bangga terhadap seluruh budaya yang ada termasuk budaya mengenakan pakaian adat.

Terakhir, penggunaan pakaian adat dalam berbagai acara kenegaraan juga dapat menjadi saran eksplorasi dan pengenalan budaya Indonesia kepada dunia. Kebudayaan Indonesia pada dasarnya memiliki peran penting dalam memperkenalkan Indonesia kepada dunia Internasional. Penggunaan pakaian adat oleh para pejabat negara dalam berbagai acara kenegaraan secara tidak langsung dapat menjadi wadah promosi atau endorsement terhadap pakaian adat tersebut. Kharisma yang dimiliki oleh beberapa sosok, figur maupun tokoh-tokoh yang mengenakan pakaian adat dalam acara kenegaraan dapat mempengaruhi dan menggaet masyarakat yang melihatnya untuk berbondong-bondong melakukan hal yang sama sehingga menjadi trend yang apabila diteruskan dan dikembangkan dapat menjadi sarana dalam memperkenalkan budaya Indonesia di gelanggang Internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun