"Tapi Bli, aku seorang wanita berkasta Sudra. Namaku sebenarnya adalah Ni Luh Sulastri. Sedangkan Bli sendiri berkasta Kesatria. Tidak mung..." perkataan Sulastri mendadak berhenti.
"Aku tahu. Yakinlah kita berdua pasti bisa mengatasi semuanya." ucap Anak Agung Tangkar sambil tersenyum menatap Ni Luh Sulastri.
Akhirnya, setelah mengganti namanya menjadi Dewi Ayu Sulastri. Mereka berdua menemui seorang pedanda untuk mengawinkan mereka. Hanya mereka berdua yang mengetahui rahasia ini. Mereka terpaksa menempuh jalan ini untuk menghindari hukuman Selong, yakni hukuman buang keluar Bali.
Di awal tahun pernikahan mereka, Anak Agung Tangkar benar-benar mandiri. Meski ia masih bisa pulang kerumah keluarganya, meski ia tahu ia masih mungkin mendapatkan sedikit harta milik orangtuanya, ia lebih memilih bekerja serabutan. Hingga suatu ketika ia dipercaya oleh seorang pedagang di daerah Klungkung untuk mengelola usaha kain Poleng Bali.
"Baiklah Bli Agung, aku percayakan cabang galeri Klungkung untuk kau kelola. Kau bisa memiliki galeri ini dengan cara bagi hasil. Selama sepuluh tahun kedepan, galeri ini akan menjadi milikmu sepenuhnya." ucap I Nyoman Cantiasa si pemilik galeri.
"Terimakasih banyak tuan, saya akan berusaha sungguh-sungguh."
Kehidupan keluarga mereka sangat harmonis. Keuangan mereka cukup lancar. Tepat sepuluh tahun kemudian, galeri kain Poleng telah berpindah kepemilikan. Galeri itu telah menjadi milik Anak Agung Tangkar. Kebahagiaan itu terasa lengkap dengan hadirnya anak ketiga dalam keluarga mereka.
"Bli, sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah menjenguk orangtua kita. Tentu mereka sangat merindukan kita." ucap Dewi Ayu Sulastri kepada suaminya.
"Kau benar, kita tidak boleh melupakan asal-usul kita. Sejauh apapun kita melangkah, keluargalah tempat kita untuk kembali." jawab Anak Agung Tangkar kepada istrinya.
***
Hari itu tiba, keluarga besar Anak Agung Tangkar berkumpul di Jero Agung Negari Pengerebongan. Sebuah tempat tinggal untuk keluarga kasta Kesatria. Mereka menyambut kedatangan putra semata wayang keluarga itu dengan isak tangis. Seorang perempuan tua terlihat memeluk erat tubuh Anak Agung Tangkar. Berkali-kali perempuan tua itu mencium keningnya. Seperti menemukan kembali mutiara yang hilang selama bertahun-tahun. Seolah tak percaya dengan penglihatannya, wanita tua itu mengusap-usap kedua matanya yang kian berkeriput.