Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Lembah Edom (Part 24)

9 September 2018   09:41 Diperbarui: 9 September 2018   09:45 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penginapan Al Anbath mulai nampak sepi. Dil uar mulai gelap. Teana berbaring diatas ranjang di dalam kamarnya. Setelah mengganti pakaiannya, ia membolak -balik lembaran buku tentang obat dan tanaman rempah -- rempah yang diberi oleh ibunya. Dengan penerangan lilin, halaman demi halaman mulai ia baca.

Disamping Teana tergeletak dua buah gulungan kulit unta yang berisi catatan ramuan obat -- obatan Timur Tengah. Ramuan itu diturunkan dari keluarga Teana secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Sementara itu alunan musik qanun dan rebana terdengar dari luar. Beberapa pemusik jalanan sedang asyik memainkan alat musik itu. Menghibur para pedagang yang nampak mulai berdatangan ke penginapan untuk melepas lelah. 

Alunan lembut qanun -- alat musik kecapi di Semenanjung Arab -- dan rebana beradu dengan sempurna membentuk sebuah lagu yang indah. Satu dua orang pedagang nampak melemparkan koin emas mereka kedalam sebuah mangkuk kecil. Sehingga membuat sebuah bunyi gemerincing dari dalam mangkuk. Pemain musikpun tersenyum menyambut datangnya koin -- koin itu.

"Tuan... Apakah Tuan sudah tidur? tanya Almeera setelah mengetuk pintu kamar Teana.

"Masuklah Almeera, aku belum tidur."

Terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki Almeera memasuki kamar.

"Ada apa Almeera? Hari sudah malam, mengapa kau belum tidur juga?"

"Maaf Tuan, ada sesuatu yang ingin hamba sampaikan kepada Tuan." jawab Almeera singkat.

Lalu Almeera mengambil tempat duduk disebelah ranjang Teana di dekat gulungan kulit unta. Ia kemudian menyerahkan sebuah bungkusan kain kepada Teana.

"Apa ini Almeera?" tanya Teana kemudian.

"Lebih baik Tuan buka sendiri." ucap Almeera.

Setelah bungkusan itu dibuka, Teana terkejut. Ia mencium lalu menempelkan benda itu di keningnya untuk memberi penghormatan kepada benda itu.

"Almeera.... Apakah kau bercanda? Apakah yang aku lihat ini nyata?" tanya Teana dengan wajah kebingungan.

"Tidak Tuan, apa yang Tuan lihat adalah benar adanya. Benda itulah yang selama ini Tuan inginkan."

"Tapi Almeera, ini adalah patung Dewa Dhushara. Bagaimana kau mendapatkan patung ini? Kau tahu sendiri betapa ketatnya penjagaan Kuil Ad Deir. Katakan padaku, bagaimana kau mendapatkan patung ini?"

Almeera pun menceritakan bagaimana patung Dewa Dhushara itu ditemukan.

***

Dua minggu setelah kepergian Teana menuju Kota Hegra, Almeera bersama Shahed pergi ke sebuah lembah yang ada di Gunung Hor. Mereka kehabisan bahan mentah untuk membuat parfum Myrrh. Sehingga mereka harus mencarinya di kaki Gunung Hor.

"Shaheed, apakah kau sudah mempersiapkan keperluan kita?" tanya Almeera.

"Sudah Almeera. Ayo kita segera berangkat sebelum hari beranjak siang."

"Baik, ayo kita berangkat." balas Almeera.

Pagi itu setelah semuanya siap, Almeera dan Shahed berangkat menuju kaki Gunung Hor. Lebih tepatnya di Lembah Edom. Sebuah lembah berusia ribuan tahun di mana pohon Myrrh tumbuh dengan suburnya. 

Shahed dan Almeera berangkat kesana dengan menaiki sebuah gerobak yang ditarik dua ekor unta. Shahed memegang tali kendali unta, sedangkan Almeera duduk disebelahnya. Dibelakang mereka berjejer rapi kendi -- kendi dari tanah liat sebagai wadah getah pohon Myrrh.

Sepanjang perjalanan, Shahed hanya diam. Sesekali ia melirik Almeera tanpa sepengetahuannya. Dalam hati Shahed, ia merasa nyaman dan senang berada didekat Almeera. Wanita pujaan hatinya.

Almeera terlihat tenang, ia menikmati perjalanan itu dengan melihat -- lihat pemandangan lembah Gunung Hor yang nampak hijau dan sangat indah. Kerudungnya sesekali tersibak tertiup angin. Rambutnya yang hitam panjang tergerai melambai -- lambai.

Jalanan yang terjal sesekali membuat gerobak mereka terguncang. Menimbulkan bunyi kendi yang saling bergesekan. Perjalanan yang menyenangkan itu tiba -- tiba menjadi sedikit kacau. Tubuh Almeera hampir tersungkur ke depan saat roda gerobak mereka tersandung sebuah batu yang cukup besar. 

Dengan sigapnya tangan kanan Shahed menarik tali kekang unta sehingga untapun berhenti. Dalam gerakan yang hampir bersamaan, tangan kirinya meraih bahu Almeera dan mendekap tubuh Almeera dalam pelukannya. Untuk sesaat, mereka berdua terdiam dan saling pandang satu sama lain.

"Shahed, lepaskan tanganmu, aku tidak bisa bernapas." ucap Almeera kemudian.

"Oh... Maafkan aku Almeera." Balas Shahed terbata -- bata. Suara Almeera membuyarkan lamunannya.

Sesaat terasa sunyi. Setelah Shahed melepaskan pelukannya, mereka berdua tidak saling berbicara satu sama lain. Hanya terdengar derak roda berputar melaju dengan lambatnya saat Shahed kembali menarik tali kekang untanya. Tiba -- tiba...

"Maafkan aku Almeera..." ucap Shahed kemudian.

"Tidak apa -- apa Shahed. Tidak perlu kau meminta maaf karena tidak ada yang perlu dimaafkan. Itu semua adalah ketidaksengajaan." balas Almeera tanpa menatap Shahed.

Angin lembah Edom berhembus pelan menerpa wajah Almeera yang memerah. Hatinya berdesir kencang. Aliran darahnya melaju dengan cepat. Ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sebab baru kali ini ia disentuh oleh seorang lelaki dengan cara seperti itu. Namun perasaan itu seketika lenyap. Berganti dengan sebuah perasaan yang menghangatkan lubuk hatinya. Perasaan suka kepada Shahed yang tidak mampu ia ungkapkan.

***

Setelah mengikat unta mereka di sebuah batang pohon besar, mereka berdua turun. Lembah Edom terhampar luas dihadapan mereka. Lembah itu nampak sunyi. Hanya terdengar deru angin padang pasir yang membawa udara cukup panas. 

Sepanjang mata memandang, terlihat banyak pohon Myrrh. Di sekelilingnya tumbuh lebat semak belukar yang mulai mengering akibat cuaca yang cukup panas.

Shahed mengambil beberapa kendi dari gerobak dan memberikannya kepada Almeera. Mereka kemudian berjalan menuju rimbunan pohon Myrrh yang berada tidak jauh dari tempat mereka. Almeera memilih pohon Myrrh yang cukup tua, lalu menyayat sedikit kulit pohon itu. Sambil berdiri, Almeera   menampung getah Myrrh yang keluar kedalam kendi yang ia bawa.

Shahed yang berada tidak jauh dari Almeera hanya bisa tersenyum. Kemudian ia meletakkan kendinya dan berjalan mendekati Almeera. Kedatangan Shahed yang tiba -- tiba memegang tangannya membuat Almeera kaget.

"Aa... Apa yang kau lakukan Shahed?" tanya Almeera dengan suara terbata -- bata. Seolah ia dibangunkan dari lamunan panjangnya. "Mengapa kau memegang tanganku seperti ini? Lepaskan tanganmu."

"Almeera, tenanglah dulu. Coba perhatikan." balas Shahed.

Kemudian Shahed melepaskan genggamannya dan menunjukkan cara mengambil getah pohon Myrrh kepada Almeera. Ia memotong dahan pohon Myrrh yang menjulur kebawah menggunakan jambia miliknya yang sangat tajam. 

Aroma yang cukup harum merebak ke udara. Cairan kental mulai nampak dari bekas potongan. Membentuk bulatan -- bulatan kecil berwarna putih susu. Pelan -- pelan getah itu terlihat menetes keluar.  Ia segera meletakkan kendi yang dibawanya tepat dibawah tetesan getah Myrrh.

"Kau lihat? Mudah bukan?"ucap Shahed.

"Iya Shahed. Tidak sulit seperti yang aku bayangkan." jawab Almeera sambil tersenyum kepada Shahed.

"Maafkan aku." ucap Almeera sedikit malu atas sikapnya yang kasar tadi.

"Tidak apa --apa Almeera, lupakan saja." balas Shahed sambil tersenyum kepada Almeera.

Suasana hening sejenak. Lalu Shahed melanjutkan ucapannya.

"Selain menjual minyak wangi Myrrh, kau juga perlu belajar cara mendapatkan getah Myrrh. Agar kau bisa mengetahui bahwa sebelum menjadi minyak yang harum, kau harus mendapatkan getahnya lebih dulu." ucap Shahed sambil menatap tajam mata Almeera.

Almeera memerah wajahnya. Ia mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Shahed. Namun tangan Shahed segera meraih pipi Almeera dan mendekatkan ke wajahnya. Shahed mencium Almeera.

***

Tidak kurang dari satu jam, kendi -- kendi yang mereka bawa telah penuh. Mereka berdua segera menata kendi -- kendi itu keatas gerobak unta mereka. Lalu Shahed mengajak Almeera untuk beristirahat sejenak didepan gua yang berada tidak  jauh dari tempat mereka berdiri. Almeera menyetujuinya. 

Mereka duduk diatas sebuah batu. Lalu mereka makan dan minum sepuasnya. Namun ketika Shahed bermaksud mengambil makanan miliknya, matanya tertuju pada sebuah batu persegi yang berbentuk aneh. Batu itu nampak menyembul keluar dari balik rimbunan rumput liar. Shahed berjalan mendekat dan mengambil batu itu.

"Batu apa ini Almeera? Apakah kau pernah melihat sebelumnya?" tanya Shahed sambil menyodorkan batu persegi ditangannya.

"Entahlah, sepertinya aku pernah melihat batu yang mirip seperti ini." ucap Almeera sambil mengamati batu yang ada di genggamannya.

"Coba kau ingat kembali, batu ini nampak berbeda dari batu biasanya. Bentuknya terlihat seperti kepala manusia."

"Oh, aku ingat Shahed. Batu ini mirip patung Dewa Dhushara di Kuil Ad Deir." jawab Almeera.

"Benarkah?"

"Iya benar. Sebab aku sering berdo'a disana dengan Tuan." jawab Almeera singkat.

"Kalau begitu lebih baik kita bawa saja batu ini dan kita tanyakan kepada Tuan Teana."

"Ya, kau benar. Lebih baik begitu."

***

Penjelasan Almeera tentang penemuan patung itu membuat Teana berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi di Kota Petra.. Ia teringat dengan ucapan Peramal Simkath. Seorang peramal di Pasar Sabra.

"Almeera, apakah kau masih ingat Peramal Simkath?"

"Simkath? Sang peramal itu?"

"Benar Almeera. Apa kau masih mengingat dimana kediamannya?"

"Tentu Tuan, hamba masih ingat betul dimana peramal itu tinggal. Tuan ingin menemuinya?" tanya Almeera sambil membungkus kembali patung Dewa Dhushara.

"Benar, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadanya. Apa kau bisa menemaniku besok pagi?"

"Tentu saja Tuan, hamba akan menemani Tuan kesana."

"Terimakasih Almeera." jawab Teana singkat. Lalu mereka berdua berpelukan.

"Baiklah Tuan, hamba pamit dulu. Hari sudah malam. Tuan perlu istirahat. Patung ini hamba letakkan disini saja. Lebih aman jika bersama Tuan."

"Baiklah Almeera. Terimakasih. Kau juga cepatlah istirahat. Besok kita akan berangkat pagi -- pagi sekali."

"Selamat malam Tuan."

"Selamat malam Almeera."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun