"Baiklah, segera kalian ambil unta kalian." perintah Rashad.
Perjalanan menuju Al Khuraimat tidaklah lama. Sebab malam itu cukup sepi. Rashad berangkat bersama lima orang prajurit. Dengan penerangan tiga obor, mereka menyusuri padang pasir yang sangat sepi itu. Setelah sampai disana, Rashad segera melihat jasad sang pendeta. Teana dan Galata menyusulnya di belakang. Mereka bertiga mulai memasuki halaman kuil.
Sebuah jasad tergeletak didepan pintu masuk kuil. Terbujur kaku dengan mulut menganga lebar. Tak ada yang berani menyentuhnya. Di sekujur tubuhnya terdapat ceceran darah segar yang membasahi jubah pendeta itu. Keadaan kuil terlihat gelap. Hanya sebuah obor menyala didepan pintu masuk kuil. Sehingga jasad sang pendeta tidak nampak jelas. Setelah turun dari untanya, Rashad berjalan mendekati jasad itu.
"Oh Dewa, ampunilah dosa pendeta ini." gumam Rashad.
"Apa yang Ayah lihat?" bisik Teana penasaran.
"Lebih baik kau lihat sendiri." jawab Rashad.
Rashad berjalan menemui penjaga kuil. Ia berbicara dengan penjaga itu panjang lebar. Setelah itu, ia menyuruh dua orang prajuritnya untuk segera mengurusi pemakaman sang pendeta. Malam ini juga ia harus dimakamkan. Penjaga kuil itupun mengangguk. Ia mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia segera memasuki kuil. Setelah itu Rashad menemui Teana yang masih berdiri disamping jasad sang pendeta Al Khuraimat. Rashad memegang pundak anaknya itu.
"Ayah...." ucap Teana lirih sambil memegang tangan Rashad yang di pundaknya.
"Ada apa anakku? Seperti ada yang kau risaukan?" tanya Rashad.
"Ayah, warna darah jasad sang pendeta sama persis dengan warna darah di lengan Ayah. Aku merasa ada sesuatu yang aneh disini. Kematian sang pendeta menurutku tidak wajar."
"Kau masih memikirkan hal itu? Kau masih teringat -- ingat bau darah di lengan Ayah?"