Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Myra (Part 19)

17 Juli 2018   10:16 Diperbarui: 17 Juli 2018   10:27 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah kejadian siang itu, malamnya keadaan Kota Petra mulai sunyi. Penduduk merasa bahwa inilah awal kehidupan mereka. Kehidupan yang diberkati oleh Dewa Dhushara dan Dewi Manat. Karena mereka telah mengorbankan seorang anak kecil untuk Dewa mereka.

"Semoga besok pagi kita akan mendapatkan keberuntungan.

"Ya, kau benar. Semoga besok daganganku terjual semuanya. Dan aku bisa pulang lebih cepat," ucap seorang lelaki Petra.

Di jalanan hanya nampak beberapa orang penduduk. Mereka mematikan obor -- obor yang menempel di dinding -- dinding bukit batu. Hanya beberapa obor saja yang dibiarkan menyala untuk sekedar menerangi jalan. Sehingga suasana malam itu menjadi sedikit gelap dan sunyi. Yang terdengar hanyalah raungan serigala gurun memecah keheningan malam.

Tanpa mereka sadari, diantara rekahan bebatuan diatas bukit batu, ada banyak pasang mata mengawasi mereka. Mata itu menyala kemerah -- merahan semerah darah. Tidak hanya satu pasang, namun hampir puluhan pasang mata yang diam tak bergerak sepanjang malam.

***

Pagi itu Simkath hendak bepergian ke pusat kota. Ia ingin mengetahui keadaan kota selama puluhan tahun ia tinggalkan. Bagaimana kondisinya sekarang dan apa yang akan ia lakukan setelah itu.

Dengan penampilannya yang kini berubah drastis, kepala botak dan rambut sebatas separuh kepala menjuntai panjang kebawah, nampaknya akan membuatnya seperti orang asing. Padahal sebenarnya tidak demikian.

       "Aku akan pergi ke kota, kau berjagalah disini." ucapnya   sambil melemparkan tiga koin emas kepada lelaki paruh

       baya.                                                                        

  "Baik Tuan, percayalah, hamba akan menjaga tenda Tuan.   Semuanya akan aman di tangan saya."

Simkath memutuskan untuk menyewa seekor unta sebagai kendaraannya menuju ke pusat kota. Karena ia sedikit banyak memahami keadaan Kota Petra yang berbukit terjal dan cuaca yang cukup panas di siang hari.

"Maaf Tuan, bisakah Tuan turun dari atas unta?" ucap prajurit Petra.

"Mengapa aku harus turun? Bukankah ini unta milikku?" tanya Simkath heran.

"Maaf Tuan, ini sudah peraturan. Akhir -- akhir ini keadaan Petra tidak aman. Jadi kami terpaksa memperketat penjagaan di pintu gerbang utama kota."

"Hmmm... baiklah kalau begitu. Lakukan saja tugasmu." ucap Simkath. Dan iapun turun dari atas untanya.

Pemeriksaan itu tidak memakan waktu lama, Simkath meninggalkan para penjaga gerbang kota. Lalu ia melanjutkan perjalanannya menuju pusat kota. Disana ia ingin melihat keadaan pasar kota. Ia bermaksud mencari sebuah tempat yang cukup strategis di pasar. Ia ingin membuka usaha berupa jasa untuk meramal nasib disana.

Dalam beberapa menit, ia akhirnya sampai juga di pusat Kota Petra. Udara berhembus cukup kencang hingga membuat debu padang pasir beterbangan. Simkath memakai cadarnya untuk menghalau debu -- debu itu.

Sesampai di pintu masuk pasar kota, ia kemudian mengikatkan tali untanya di sebuah pohon kurma dan membayar seorang anak laki -- laki untuk menjaga untanya. Lalu ia masuk kedalam pasar.

Setelah berhari -- hari ia mengamati keadaan di pasar kota, ia memutuskan untuk membeli sebuah kedai minuman yang lama tidak digunakan. Letak kedai itu cukup strategis, berada di persimpangan jalan pasar yang cukup ramai dilewati orang. Melalui jasa seorang pedagang yang juga menawarinya tenda di Al Habis, ia berhasil mendapatkan kedai minuman itu dengan harga cukup murah.

Kedai itu nampaknya berfungsi sebagai tempat tinggal juga. Berdinding batu beratapkan daun kurma kering. Di depannya terdapat sebuah sumur kecil yang masih mengeluarkan air jernih.

"Sepertinya aku akan menetap disini saja." pikir Simkath.

Dibantu oleh beberapa orang, Simkath membenahi kedai itu menjadi sebuah rumah layak huni. Sedangkan ruangan di bagian depan kedai ia gunakan sebagai tempat untuk meramal.

       Sang waktu berjalan cepat. Dalam beberapa tahun, nama Simkath telah dikenal di penjuru kota sebagai seorang peramal.

Tanpa disadari oleh para penduduk Petra, sebuah kekuatan besar mulai terbentuk dibalik bukit batu Al Habis. Kekuatan itu telah mengintai mereka selama puluhan tahun. Sebuah kekuatan yang dimiliki oleh bangsa bawah. Kekuatan yang siap menghancurkan kehidupan Bangsa Nabataea.

***

Petra di masa sekarang...

Keadaan kota makin kacau, pemerintah tidak bisa mengatasi kekacauan di kota. Berbagai cara telah mereka lakukan. Memperketat pengamanan kota dan menambah jumlah prajurit untuk megawasi kota. Namun usaha itu nampaknya sia -- sia.

                "Almeera, kita harus bagaimana? Penjualan Myyrh kita

                makin menurun akibat maraknya penjarahan di kota."

                "Seperti yang pernah hamba sampaikan dulu Tuan,

                kita harus mencari wilayah baru untuk menjual Myrrh

                kita Tuan."

                "Apa itu artinya kita harus pindah dari sini?"

                "Entahlah Tuan, hamba belum memikirkannya sejauh

                itu. Lagipula hamba tidak tahu kemana kita akan

                mencari wilayah baru selain Kota Petra."

       Mereka berdua diam sejenak. Memikirkan langkah apa yang bisa mereka lakukan agar bisa tetap bertahan di Kota Petra sebagai pedagang Myrrh.

                "Tuan, hamba punya rencana."

                "Apa Almeera, katakanlah."

***

Pagi itu aktivitas di pusat kota cukup ramai. Setelah upacara pemujaan yang berlangsung tiga hari kemarin, para penduduk bersukacita merayakannya sehari penuh hingga menjelang malam.

"Ayo kawan, kita minum -- minum sampai puas. Biar aku yang membayar semua minuman ini."

"Hai... tidak seperti biasanya kau begini? Mimpi apa kau semalam?"

"Aaah kau ini, orang susah tidak selamanya susah. Orang kaya tidak selamanya kaya. Lihat aku, meskipun diriku selalu susah, tapi hari ini aku mendapatkan banyak koin emas."

"Oh ya? Ceritakan padaku bagaimana kau mendapatkannya? Kau merampok?"

"Keterlaluan kau, tidak lah. Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Kemarin, beberpa prajurit kerajaan mampir ke rumahku. Mereka membeli seluruh anggur yang ada di kebunku. Sebab stok anggur kerajaan menipis. Jadi semua anggur yang ada di kota dibeli oleh pihak kerajaan."

"Oh begitu..."

"Sudah, jangan banyak omong kau. Ayo habiskan semua minuman ini. Hahaha...."

***

       Malam merangkak turun...

Di kamar tempatnya menginap, Teana dan Almeera telah memutuskan untuk menjual Myrrh mereka ke wilayah yang baru. Saat ini, yang mereka butuhkan adalah bagaimana cara mereka bisa mendapatkan informasi mengenai dimana tempat tersebut.

Tiba -- tiba Almeera teringat perjumpaannya dengan seorang pedagang di Pasar Kota, sewaktu ia kembali dari peramal Simkath sebelumnya, ia berpapasan dengan pedagang itu. Pedagang itu adalah seorang lelaki penjual minyak zaitun. Ia sering berdagang di sebuah kota bernama Myra di Pulau Lycia. Berkat informasi yang diperolehnya, ia menyarankan kepada Teana untuk berdagang Myrrh disana.

                "Myra...?"

                "Iya Tuan, benar sekali. Myra sepertinya kota yang

                tepat untuk kita berdagang disana. Karena itu

                merupakan kota pelabuhan terbesar."

                "Dimana kota itu Almeera?"

                "Di Lycia, sebuah daerah yang lumayan jauh dari Petra.

                Membutuhkan waktu dua bulan perjalanan

                menggunakan kapal layar."

"Baiklah, aku setuju dengan saranmu itu. Besok pagi kita akan membicarakannya bersama yang lainnya. Mungkin kita perlu menambah persediaann Myrrh kita untuk kita bawa ke Myra.

                "Baik Tuan."

***

Sepulang dari kedai, dua orang lelaki itu nampak berjalan terhuyung -- huyung. Mereka menyusuri Siq Al Barid. Sebuah jalan setapak kecil di sebelah Utara Kota Petra. Di jalanan itu jarang sekali dilewati pedagang Petra, sebab terlalu sempit untuk dilewati rombongan unta.

"Terimakasih teman atas jamuan minumnya tadi, seharusnya kita tidak minum sebanyak ini." ucap pria yang bertubuh sedikit gemuk itu.

"Aaah... Tak usah kau berpura -- pura suci, bukankah kau tadi menikmati minuman yang disuguhkan para wanita cantik disana? Hahahaha..." si pria kurus tertawa lepas di keheningan Siq Al Barid.

"Hahaha.... Kau benar sekali teman." sahut temannya yang juga telah dipengaruhi minuman anggur memabukkan.

Semakin lama ucapan kedua orang itu makin tak karuan, mereka berjalan terus menyusuri tebing -- tebing tinggi di sebelah kiri kanan Siq Al Barid yang remang -- remang. Saat mendekati Kota Petra, tiba -- tiba mereka berdua ambruk dengan tubuh berlumuran darah. Bersamaan dengan itu, tiga sosok bayangan hitam melesat turun dari atas tebing.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun