Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Bermulut Tiga

25 April 2016   12:56 Diperbarui: 25 April 2016   13:13 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="mulut tiga - weheartit.com editedi"][/caption]Seperti yang biasa dilakukannya dulu. Bahkan setelah kepindahannya ke Desa Kepuhanyar, kebiasaan itu belumlah lenyap dari mulutnya. Bak pohon, semakin disiram semakin subur saja. Tumbuh melebat diantara kedua belahan bibirnya yang sangat tipis dan tajam itu. Setajam pisau belati.

“Apakah kau sudah mendengar khabar dari Siti Aisyah?”

“Perihal apa Cik?”

“Mmm… belumkah aku fatwakan kepadamu perihal kehamilannya yang janggal itu ?”

“Janggal maksudnya?”

“Lelaki yang baru saja dinikahi Siti Aisyah bukanlah bapak dari si jabang bayi”.

Begitulah, setiap ada ikhbar baru di kampung itu. Sudah dapat dipastikan fatwa itu selalu dari Cik Rina. Tak satupun rahasia penduduk desa yang tidak diketahui oleh Cik Rina.

Karena Cik Rina maha tahu, jadi saranku berhati – hatilah dengannya. Agar rahasiamu tidak dijadikan aib olehnya.

Wanita setengah abad itu terkenal akan bibirnya yang merah jingga. Sangat merona indah karena sari sirih yang tiap sore disapukan dengan lembut dan telaten diatas kedua bibirnya.

Seperti kebiasaan para wanita di Desa Kepuhanyar. Wanita – wanita disana selalu menyapu kedua bibir mereka dengan sari sirih selepas mandi sore. Adat nenek moyang katanya. Sehingga semua wanita di desa itu terkenal akan bibirnya yang indah. Pun demikian dengan Cik Rina. Namun keindahan bibir Cik Rina tak seindah kata – kata yang terlantun dari mulutnya.

“Mau kemana awak sore menjelang petang begini? Tak baik bagi perawan seperti awak keluar saat senja” tegur Cik Rina sore itu.

“Eeeh… Itu Cik, aku hendak bertandang kerumah Sari meminta beberapa lembar daun pisang untuk hajatan besok” jawab Fatimah.

“Aaah… Apa awak tak ada lelaki dirumah? Minta tolonglah kepada mereka. Tak baik seorang wanita bertandang kerumah orang menjelang petang”.

“Mmm iya… Maaf Cik, aku pamit dulu. Sebentar lagi mau maghrib”

“Iyaaa. Berhati – hatilah”

Seolah tak mendengar sesuatu, Fatimah bergegas memotong pembicaraan mereka petang itu. Bukan maksud tak mengindahkan nasihat Cik Rina. Bukan pula tak menghormatinya sebagai orang yang tua darinya. Namun Fatimah lebih memilih segera berlalu daripada memanjangkan tali kelambu.

“Aaah… Mulut Cik Rina mulai berfatwa. Dasar wanita bermulut tiga” gerutu Fatimah dalam hati.

***

Seminggu sekali di Desa Kepuhanyar selalu diadakan pengajian untuk ibu – ibu. Pengajian itu berlangsung secara bergantian dirumah anggotanya setiap bakda ashar. Dengan mendatangkan seorang Ustadz yang cukup disegani. Ibu – ibu itu mendengarkan fatwa perihal agama yang disampaikan oleh Ustadz Razaq.

“Ibu – ibu, sebagai seorang muslim kita harus menyayangi sesama. Baik itu sesama muslim maupun bukan. Karena sebagai umat manusia kita harus hidup dalam kerukunan. Menghindari pertikaian dan pergunjingan” ucap Ustadz Razaq menutup fatwanya sore itu.

“Assalamu’alaikun warahmatullahi wabarakatuh”

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh” jawab ibu – ibu serentak.

Setelah tuan rumah menghidangkan suguhan. Tetamu pun segera menyantapnya.

“Hmm… lezat sekali jaddah ini. Manis” ucap seorang ibu muda.

“Aaah… rasanya biasa saja bu, aku sering melihatnya di pasar dekat sini. Harganya murah, ya mungkin wajar ya kalau si Laili membeli makanan itu untuk suguhan. Kan dia orang tak mampu. Jadi suguhannyapun sesuai dengan kemampuannya” jawab Cik Rina seraya melumat habis kue lemper dalam mulutnya. Mulut Cik Rina seketika berjumlah tiga. Ibu muda itupun hanya bisa menyungging senyuman yang dipaksakan. Setelah tiga puluh menit, tetamu selesai menikmati suguhan aneka rupa dan rasa itu. Pengajian pun dibubarkan.

Dalam perjalanan pulang, Cik Rina, Khoirotin dan Jamaiyah berjalan beriringan. Kebetulan rumah mereka satu arah dan saling bertetangga dekat.

“Pengajian tadi sungguhlah khidmat. Penuh kesejukan hati ini rasanya” ucap Khoirotin.

“Iya… kau benar sekali Tin” balas Jamaiyah bersetuju dengan ucapan Khorotin tadi.

Mendengar obrolan mereka, air muka Cik Rina berubah masam. Kedua bola matanya yang hitam bergerak tak beraturan. Cik Rina hanya bisa menundukkan kepalanya. Entah karena paham atau karena malu. Tak ada yang tahu menahu isi hati Cik Rina kala itu. Hanya terdengar suara gemerutuk gigi – giginya menahan kesal atas obrolan mereka berdua.

***

Kehidupan Cik Rina terkenal buar. Gaya hidupnya royal. Suka bermewah - mewah. Baik dalam tingkah maupun penampilannya. Dirumahnya penuh dengan perabotan mewah. Ambal berwarna warni digelar di ruang tamu. Guci keramik cina tertata rapi di pojok ruangan. Kursi berukir dari jati berdiri kokoh ditengahnya. Sementara itu diatasnya tergantung hiasan bohlam warna – warni bak mutiara memancarkan kilaunya. Maklumlah, suaminya seorang kontraktor yang tak pernah kering sungai uangnya.

“Jadi… ibu mahu menyumbang berapa?” tanya seorang wanita.

“Hmmm… Kebetulan suamiku juga ketua pengurus masjid disitu. Jadi aku sebagai istrinya harus menyesuaikan dengan kedudukan yang disandangnya. Aku akan menutup semua kekurangan biaya pembangunan masjid” jawab Cik Rina dengan senyum pongah mengukir di wajahnya yang tak muda lagi.

“Jangan lupa ya, tulis namaku di papan penyumbang masjid” pesan Cik Rina yang diikuti anggukan kepala wanita itu. Pertanda dia mengerti apa yang difatwakan Cik Rina barusan.

Dan akhirnya wanita itupun pamit pulang dengan membawa amplop coklat tebal didalam tas miliknya.

Seminggu kemudian, peletakan batu pertama untuk renovasi masjid dilaksanakan. Sebagai ucapan terimakasih dari pengurus masjid dan untuk menghormati ketua pengurus masjid, maka diutuslah Cik Rina untuk meletakkan batu pertama pondasi bangunan.

Namun Yang Maha Agung tidak berkenan untuk menerima batu itu. Tetiba saat Cik Rina melangkah menuju lubang galian untuk pondasi. Mendadak kaki kirinya terantuk batu yang menyembul diatas tanah.

Braaaakkkk….

Batu untuk pondasi pertama yang dipegang oleh Cik Rina mental kedepan. Tubuh Cik Rina tak seimbang. Aihhh… kasihan pula orang tua itu. Tubuh rentanya tak mampu menahan batu sekecil itu pula. Cik Rina pun tersungkur keatas tanah. Tepat diatas batu itu, mulut Cik Rina berlumuran darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun