Sejarah Singkat Kebijakan Ketahanan Pangan di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka, di masa jabatan presiden Soekarno, program ketahanan pangan menjadi prioritas untuk menjamin kebutuhan warga negara sehingga beberapa diharpkan mampu mendongkrak produksi dan produkivitas, salah satunya adalah padi sentra pada tahun 1958, kemudian menyusul program komando operasi gerakan makmur (KOGM), dan program swa sembada pangan pada tahun 1961. Semua kebijakan yang dibuat pada masa orde lama tersebut merupakan cikal-bakal lahirnya revolusi hijau di era orde baru.
Pada masa presiden soeharto, kebijakan yang dikenal dengan bimbingan masal (BIMAS) dimulai pada tahun 1969. Program BIMAS setidaknya cukup berhasil mengatasi inpor beras meski hanya bertahan 10 tahun. Jika dilihat dari orde lama sampai reformasi kebijakan ketahanan pangan hanya berfokus pada beras, dan inilah salah satu dasar mengapa proses pemerataan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan disektor pertanian hanya dapat dirasakan oleh penduduk jawa yang diikut sertakan dalam program pemerataan penduduk (transmigrasi). menurut Hira Jamtani, (2008) kebijakan program pemerintah indonesia dalam mengatasi ketahan pangan pada akhirnya hanya berhasil melakukan swasembada beras bukan swasembada pangan. Artinya dalam kebijakan ketahanan pangan hanya terfokus pada satu komoditas utama dalam memenuhi kebutuhan nasional.Â
Dengan adanya masalah demikian, maka perlu kita pahami bahwa persoalan pangan adalah persoalan kebudayaan dengan setiap komunitas masyarakat yang tumbuh dan hidup pada tiap tempat, memiliki perbedaan untuk akses terhadap bahan dasar pangan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun dalam mukadimmahnya bahwa, geografi sangat mempengaruhi kebiasaan dan pola pikir masyarakat. Tata cara kelola pangan dengan sumber daya yang tersedia seperti orang jawa dengan orang papua pedalaman pasti berbeda dalam memenuhi kebutuhan, orang papua dapat mengolah sagu menjadi popeda sebagai alas lambung, orang jawa terbiasa memakan nasi yang diolah dari beras. Atau padang tandus suku boti di NTT yang ketika Jakarta mengalami krisis pangan justru mereka berhasil bertahan hidup hanya dengan memakan ubi jalar.
Di era presiden jokowi, reformasi ketahanan pangan diubah menjadi konsep food estate    (Lumbung Pangan), kebijakan pemerintah dengan merancang program yang terintegrasi dengan harapan mampu memberdayakan petani lokal serta membawa kemajuan pada produksi pertanian yang sudah ditentukan oleh pemerintahan Jokowi hari ini sangat perlu kita kaji, mengingat program  food estate adalah sarana penunjang sosial ekonomi yang padat persoalan dengan kompleksitas penanganan yang butuh banyak pengorbanan. Kebijakan yang menjadi bagian dari proyek strategi nasional (PSN) 2020-2024, digagas pemerintahan hari ini sangat berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan  bahkan konflik agraria. Program yang diharpkan  mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional sudah tentu membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dari Indonesia timur papua, lahan yang dibuka sebesar 1,2 juta ha, Maluku Kep. Aru 190 ribu ha, Kalimantan timur 10 ribu ha, Kali Mantan Tengah 180 ribu ha, dan Kalimantan barat 120 ribu ha, total lahan keseluruhan 1.700.000 ha,yang di anggarkan melalui APBN 2024 sebesar 114,3 triliun untuk sejumlah program yang menyangkut dengan ketahanan pangan.
Sejauh ini yang dilakukan oleh presiden jokowi dengan mengorbankan jutaan ha lahan dengan anggaran ratusan triliun diharapkan  mampu berjalan secara signifikan, namun inpor beras Indonesia dilansir dari Kompas.id tembus 3,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan beras nasional belumlah cukup, shingga tahun 2024 di masa akhir jabatan Presiden Jokowi Dodo akan melakukan penambahan inpor beras sebesar 2 juta ton. Selama ini program food estate dirancang dengan asas manfaat salah satunya adalah, terbukanya potensi ekspor pangan ke-negara lain mala menimbulkan polemik sebab belum berhasil mencapai target.
Politisasi Bansos; Kelaparan yang di Pelihara Dengan Mitos Kelangkaan
      Ketika kita membaca buku karya Francis Moore Lappe, Peter Rosset, dan Joseph Collins-kemudian bergabung juga Luis Erparza- dengan judul yang sangat cukup menghebohkan: World Hunger: Twelve Myths (12 Mitos Kelaparan Dunia) diterbitkan oleh Institut for Food and Development Policy (FoodFirst) yang berbasis di okland Califrnia. Lappe dan kawan-kawan terutama Rosset telihat lantang dalam berbagai kesempatan menuangkan pemikirannya menentang mitos kelangkaan the myth security.
Pada momentum tahun PEMILU 2024 kemarin, langkah dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh presiden Jokowi sangat sentralistis soal pangan, dalam hal pembagian bansos di muka istana Negara, membawa dampak serius terhadap tahun politik ketika anaknya ikut mengambil bagian mencalonkan diri sebagai CAWAPRES. Meski banyak yang mengatakan bahwa tidak ada kaitannya dengan peran Jokowi, tapi dalam kacamata politik sudah tentu orang melihat Jokowi adalah bagian dari ketidak terpisahan kepentingan PILPRES, belum lagi Jokowi mengatakan di media bahwa presiden bisa berkampanye sonatak merubah atmosfer politik nasional yang secara praktis bertentangan dengan UU Pemilu  pasal 299.
      Dalam kajian politik pangan, kita dapat membaca magnet politik yang mengarah pada hal yang latens, dari program food estate dan hadirnya Jokowi di beberapa gudang BULOG untuk melihat sendiri ketersediaan beras yang menumpuk, adalah bukti nyata kelangkaan pangan hanyalah mitos yang diprakarsai oleh kekuasaan. Sebab kenapa bersamaan terjadi kelangkaan, di sisi lain mengakibatkan kenaikan harga pangan terutama bersa dan minyak goring, dengan kondisi demikian membawa pilihan kepada masyarakat (mau beli yang mahal atau ambil yang gratis). Mengutip apa yang di katan Sen, bahwa persoalan kelaparan bukanlah kekurangan bahan pangan, tetapi ketiadaan akses atas pangan tersebut, terutama oleh lapisan penduduk miskin (baca: Lappe et.al., 1998). Hal yang sama dilakukan oleh para BACALEG, ajang kompotisi kemarin, sarat akan kebiasaan kotor dengan membagikan beras kepada pemilih. Di lansir dari Kompas.com, agen sulit dapat beras dari pemasok sebut banyak CALEG yang borong. Tindakan ini sangat mempengaruhi stok ketersediaan dan kenaikan harga beras akibat kelangkaan yang terjadi. Selama cara ini dilakukan dalam momentum pemilihan, mengindikasikan pemerintah sengaja membuat ketergantungan pada lapisan masyarakat kelas bawah, dan selama masi ada bansos berupa pangan menandakan pemerintah tidak sungguh-sungguh mengatasi ketimpangan akibat membiarkan ketidak mandirian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.
Sebetulnya, ketahanan pangan dapat terjadi terkecuali ada kemandirian, kemandirian terealisasi terkecuali ada kedaulatan pangan. Boleh dikatakan pemerintah hari ini tidak mematuhi  UU no 7 / 1996 yang berbunyi; kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.Â
Perubahan Iklim dan Dampak Dari Lebalisasi Pasar Pangan
      Kenaikan harga beras 2024 awal menjadi yang paling terbesar di Indonesia, memecahkan rekor perberasan dengan harga tertinggi. Harga beras premium awalnya Rp 220/kg menjadi Rp 18.000/kg sementara untuk harga medium awalnya Rp 110/kg naik Rp 14.480/kg. beberapa sanggahan disampaikan langsung direktur Perum BULOG Budi Waseso, kenaikan ini bukan diakibatkan karena bansos menjelang pemilu kemarin, akan tetapi diakibatkan oleh dua faktor internal, pertama; adalah karena adanya persaingan pembeli pengusaha dan adanya produksi beras yang berkurang, kedua; memang produksi beras sedang kurang atau turun 5 % sehingga ada persaingan. Tidak hanya itu, kenaikan harga beras juga dipengaruhi  dengan beberapa faktor eksternal, pertama; ada topan doksuri, yang menyebabkan banjir di China yang mana, China merupakan produsen beras terbesar di dunia, selain topan doksuri, kedua; adanya elnino yang mengakibatkan pemanasan suhu permukaan bumi sehingga terjadi kekeringan.
      Dari penjelasan direktur perum BULOG di atas, kalau kita cermati memang ada benarnya namun, sejauh ini jika alasannya karena dipengaruhi topan doksuri dan elnino, kenapa Thailand, Vietnam dan India saat itu masi melayani pengiriman keluar untuk memenuhi pangsa pasar perberasan ekspor luar negeri. Sementara itu, jika faktor internal menjadi pemicu dengan biasa mengatakan bahwa ini produksi beras menurun, dan persaingan pedagang pengusaha yang banyak membeli lalu dijual kembali ke konsumen adalah, kita ketahui secara bersama bahwa tugas dan peran BULOG selama ini mengemban tugas publik pemerintah, salah satunya menjaga kestabilan harga pangan (beras) di pasaran, dengan melepaskan ketersediaan pangan pada setiap gudang ketika terjadi lonjakan harga.
Gejolak harga kebutuhan pangan tidak terjadi tiba-tiba. Ini adalah buah dari liberalisasi radikal terhadap pasar pangan domestik. BULOG yang dulu perkasa, power full, dan menggurita, setelah berubah status dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi PERUM, lembaga ini sekarang tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Alasan untuk menjaga perdagangan yang baik dan intens untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka BULOG harus memenuhi desakan Dana Moneter Internasional (IMF) maka yang menjadi pangan utama di bawah kendali BULOG ( beras, jagung, kedelei, gandum, gula dan minyak goreng) tiba-tiba semua pangan tersebut harus dilepaskan ke pasar, per September 1998. Dengan komitmen yang kuat dengan organisasi perdagangan dunia (WTO) untuk meliberalisasi pasar domestik secara bertahap mengalami percepatan luar biasa. Menurut Khudori (2008) selain liberalisasi pasar pangan, penyesuaian structural ala IMF juga mengharuskan penghapusan subsidi pangan, pupuk, benih, pestisida, dan modal kerja terpadu petani. Kebijakan subsidi pupuk masi diberikan, namun pelaksanaanya timbul masalah sehingga manfaatnya rendah.
Liberalisasi pasar pangan ini sangat serius berdampak terhadap pasar pangan domestik, BULOG yang memiliki peran sebagai juru selamat atas segala masalah pangan terbatasi oleh kebijakan yang menetapkan monopoli BULOG atas pangan berupa terigu, tepung terigu, bawang dan kedelai dihapuskan. Monopoli BULOG dibatasi hanya untuk beras, itupun terbatas hanya dalam penyediaan kebutuhan. Akibat longgarnya kebijakan pemerintah, BULOG harus berhadap-hadapan dengan dengan swasta. BULOG yang punya kendali penuh atas proses distribusi hanya sanggup menyediakan 10%, sementara swasta mendominasi 90%. Hal ini dikarenakan harga dasar yang ditawarkan BULOG lebih rendah ketimbang agen swasta di lapangan, petani tidak mau menjual beras ke BULOG. Keadaan inilah yang menimbulakn fluktuasi harga dan ketersediaan beras di pasar, yang dampaknya di rasakan oleh konsumen dan produsen.
Tiga Matra; Menata Kembali Kebijakan PanganÂ
Struktur pasar pangan yang kian rumit akibat disandera IMF lewat latter of intes (LoI) membawa dampak seirus yang bukan hanya dirasakan oleh lembaga pemerintah, namun imbasnya sampai pada lapisan masyarakat. Sehinggah, untuk menghindari kerusakan yang lebih parah dalam struktur pasar pangan, maka perlu adanya penataan kembali lembaga pangan dengan jalur kerja sama yang bukan hanya melibatkan pemerintah. BULOG yang memiliki aset gudang mencapai 1.606 berkapasitas 3, 81 juta ton, belum lagi kantor DOLOG dan sub-DOLOG dengan alat komunikasi yang memadai dan tersebar di seluruh tanah air, BULOG hadir bukan hanya sebagai lembaga (BUMN) yang mengemban kebijakan publik yang dengan sempit mengurus distribusi da memenuhi isi gudang. Indonesia memiliki tiga organisasi besar dengan agregat komposisi yang sangat baik apa bila lembaga BULOG menjalin hubungan dengan mereka untuk turut terlibat melihat kendala-kendala yang terjadi pada sektor produksi bisa dibijaki secara bersama dengan pemerintah. Pemerintah, pihak BULOG, organisasi tani dan nelayan menjadi elemen penting difungsikan sesuai letak koridor masing-masing. Pemerintah hadir menetapkan harga jual guna mengendalikan harga sewaktu-waktu mengalami fluktuasi, BULOG mengambil peran siap menampung hasil pangan yang di produksi petani dalam negeri, Organisasi Tani dan Nelayan siap siaga identifikasi masalah-masalah yang dialami oleh baik petani perorangan maupun kelompok Tani dan Nelayan dengan pendekatan akademik agar penaganan masalah produksi sampai masuk di pasaran bisa terakomodir dan tertata dengan baik. Inilah tiga matra penting dalam membijaki masalah produksi dan produktivitas komiditi pasar pangan nasional.
Terdapat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ada juga Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang merupakan mediator penting, ketika terdapat masalah pada 254.898 kelompok tani dan 152 KTNA dalam hal produksi. BULOG dan Pemerintah sanggup mengfasilitasi anggaran/tahun yang disalurkan lewat organisasi tani dan nelayan, kemudian dibuka juga anggaran antisipasi harga pangan, sewaktu-waktu terjadi lonjakan harga di pasar akibat dipengaruhi pasar pangan global, BULOG dan pemerintah hadir menyanggupi untuk membeli hasil pangan dalam negeri. Sehingga BULOG bukan sekedar dilihat lembaga pengumpul yang kalau di dalam negeri terjadi harga pangan yang meroket naik, BULOG siap menampung pangan inpor dengan alasan lebih murah ketimbang dalam negeri.
Reformasi struktural ini membawa suasana baru natinya dalam kerja sama antara lembaga, harmonisasi antara petani dan nelayan terhadap kebijakan yang bersentuhan langsung dengan mereka memberi kesan bukti perhatian Negara terhadap mereka. Jaminan kebutuhan berupa alat dan bahan kerja terdistribusi secara baik dan merata dibuat menjadi kebutuhan program tahunan dengan mata anggaran yang tersedia dalam pembahasan, melibatkan petani dan nelayan  ikut program pelatihan termasuk seminar adalah bentuk rasa hargai negara karena peroses mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dirasakan oleh kelompok tani dan nelayan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H