Mohon tunggu...
Jarot Dikitobo
Jarot Dikitobo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Gelandangan bodok

Berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, mati tidak diakui.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Negara Rakyat dan Pangan

29 Oktober 2024   15:49 Diperbarui: 29 Oktober 2024   16:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejarah Singkat Kebijakan Ketahanan Pangan di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka, di masa jabatan presiden Soekarno, program ketahanan pangan menjadi prioritas untuk menjamin kebutuhan warga negara sehingga beberapa diharpkan mampu mendongkrak produksi dan produkivitas, salah satunya adalah padi sentra pada tahun 1958, kemudian menyusul program komando operasi gerakan makmur (KOGM), dan program swa sembada pangan pada tahun 1961. Semua kebijakan yang dibuat pada masa orde lama tersebut merupakan cikal-bakal lahirnya revolusi hijau di era orde baru.

Pada masa presiden soeharto, kebijakan yang dikenal dengan bimbingan masal (BIMAS) dimulai pada tahun 1969. Program BIMAS setidaknya cukup berhasil mengatasi inpor beras meski hanya bertahan 10 tahun. Jika dilihat dari orde lama sampai reformasi kebijakan ketahanan pangan hanya berfokus pada beras, dan inilah salah satu dasar mengapa proses pemerataan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan disektor pertanian hanya dapat dirasakan oleh penduduk jawa yang diikut sertakan dalam program pemerataan penduduk (transmigrasi). menurut Hira Jamtani, (2008) kebijakan program pemerintah indonesia dalam mengatasi ketahan pangan pada akhirnya hanya berhasil melakukan swasembada beras bukan swasembada pangan. Artinya dalam kebijakan ketahanan pangan hanya terfokus pada satu komoditas utama dalam memenuhi kebutuhan nasional. 

Dengan adanya masalah demikian, maka perlu kita pahami bahwa persoalan pangan adalah persoalan kebudayaan dengan setiap komunitas masyarakat yang tumbuh dan hidup pada tiap tempat, memiliki perbedaan untuk akses terhadap bahan dasar pangan. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun dalam mukadimmahnya bahwa, geografi sangat mempengaruhi kebiasaan dan pola pikir masyarakat. Tata cara kelola pangan dengan sumber daya yang tersedia seperti orang jawa dengan orang papua pedalaman pasti berbeda dalam memenuhi kebutuhan, orang papua dapat mengolah sagu menjadi popeda sebagai alas lambung, orang jawa terbiasa memakan nasi yang diolah dari beras. Atau padang tandus suku boti di NTT yang ketika Jakarta mengalami krisis pangan justru mereka berhasil bertahan hidup hanya dengan memakan ubi jalar.

Di era presiden jokowi, reformasi ketahanan pangan diubah menjadi konsep food estate      (Lumbung Pangan), kebijakan pemerintah dengan merancang program yang terintegrasi dengan harapan mampu memberdayakan petani lokal serta membawa kemajuan pada produksi pertanian yang sudah ditentukan oleh pemerintahan Jokowi hari ini sangat perlu kita kaji, mengingat program  food estate adalah sarana penunjang sosial ekonomi yang padat persoalan dengan kompleksitas penanganan yang butuh banyak pengorbanan. Kebijakan yang menjadi bagian dari proyek strategi nasional (PSN) 2020-2024, digagas pemerintahan hari ini sangat berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan  bahkan konflik agraria. Program yang diharpkan  mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional sudah tentu membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Dari Indonesia timur papua, lahan yang dibuka sebesar 1,2 juta ha, Maluku Kep. Aru 190 ribu ha, Kalimantan timur 10 ribu ha, Kali Mantan Tengah 180 ribu ha, dan Kalimantan barat 120 ribu ha, total lahan keseluruhan 1.700.000 ha,yang di anggarkan melalui APBN 2024 sebesar 114,3 triliun untuk sejumlah program yang menyangkut dengan ketahanan pangan.

Sejauh ini yang dilakukan oleh presiden jokowi dengan mengorbankan jutaan ha lahan dengan anggaran ratusan triliun diharapkan  mampu berjalan secara signifikan, namun inpor beras Indonesia dilansir dari Kompas.id tembus 3,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan beras nasional belumlah cukup, shingga tahun 2024 di masa akhir jabatan Presiden Jokowi Dodo akan melakukan penambahan inpor beras sebesar 2 juta ton. Selama ini program food estate dirancang dengan asas manfaat salah satunya adalah, terbukanya potensi ekspor pangan ke-negara lain mala menimbulkan polemik sebab belum berhasil mencapai target.

Politisasi Bansos; Kelaparan yang di Pelihara Dengan Mitos Kelangkaan

            Ketika kita membaca buku karya Francis Moore Lappe, Peter Rosset, dan Joseph Collins-kemudian bergabung juga Luis Erparza- dengan judul yang sangat cukup menghebohkan: World Hunger: Twelve Myths (12 Mitos Kelaparan Dunia) diterbitkan oleh Institut for Food and Development Policy (FoodFirst) yang berbasis di okland Califrnia. Lappe dan kawan-kawan terutama Rosset telihat lantang dalam berbagai kesempatan menuangkan pemikirannya menentang mitos kelangkaan the myth security.

Pada momentum tahun PEMILU 2024 kemarin, langkah dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh presiden Jokowi sangat sentralistis soal pangan, dalam hal pembagian bansos di muka istana Negara, membawa dampak serius terhadap tahun politik ketika anaknya ikut mengambil bagian mencalonkan diri sebagai CAWAPRES. Meski banyak yang mengatakan bahwa tidak ada kaitannya dengan peran Jokowi, tapi dalam kacamata politik sudah tentu orang melihat Jokowi adalah bagian dari ketidak terpisahan kepentingan PILPRES, belum lagi Jokowi mengatakan di media bahwa presiden bisa berkampanye sonatak merubah atmosfer politik nasional yang secara praktis bertentangan dengan UU Pemilu  pasal 299.

            Dalam kajian politik pangan, kita dapat membaca magnet politik yang mengarah pada hal yang latens, dari program food estate dan hadirnya Jokowi di beberapa gudang BULOG untuk melihat sendiri ketersediaan beras yang menumpuk, adalah bukti nyata kelangkaan pangan hanyalah mitos yang diprakarsai oleh kekuasaan. Sebab kenapa bersamaan terjadi kelangkaan, di sisi lain mengakibatkan kenaikan harga pangan terutama bersa dan minyak goring, dengan kondisi demikian membawa pilihan kepada masyarakat (mau beli yang mahal atau ambil yang gratis). Mengutip apa yang di katan Sen, bahwa persoalan kelaparan bukanlah kekurangan bahan pangan, tetapi ketiadaan akses atas pangan tersebut, terutama oleh lapisan penduduk miskin (baca: Lappe et.al., 1998). Hal yang sama dilakukan oleh para BACALEG, ajang kompotisi kemarin, sarat akan kebiasaan kotor dengan membagikan beras kepada pemilih. Di lansir dari Kompas.com, agen sulit dapat beras dari pemasok sebut banyak CALEG yang borong. Tindakan ini sangat mempengaruhi stok ketersediaan dan kenaikan harga beras akibat kelangkaan yang terjadi. Selama cara ini dilakukan dalam momentum pemilihan, mengindikasikan pemerintah sengaja membuat ketergantungan pada lapisan masyarakat kelas bawah, dan selama masi ada bansos berupa pangan menandakan pemerintah tidak sungguh-sungguh mengatasi ketimpangan akibat membiarkan ketidak mandirian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.

Sebetulnya, ketahanan pangan dapat terjadi terkecuali ada kemandirian, kemandirian terealisasi terkecuali ada kedaulatan pangan. Boleh dikatakan pemerintah hari ini tidak mematuhi  UU no 7 / 1996 yang berbunyi; kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun