Saya sedang berada di warkop pinggir jalan, menikmati kopi seharga empat ribu perak juga sebungkus kacang goreng seribuan; ketika saya menjumpai artikel yang tak penting-penting amat itu di beranda fesbuk. Judul artikel itu: Selebgram ini Habiskan Sembilan Belas Juta untuk Makan Steak, Begini Komentar Netizen.
Saya 'sentuh' judul artikel tersebut. Jendela baru terbuka. Versi utuh artikel itu pun terpampang jelas.
Artikel tersebut lebih disesaki dengan komentar netizen, dan sedikit informasi soal restoran yang dikunjungi sang selebgram. Komentar yang terpilih untuk ditayangkan, lebih menunjukkan protes atas postingan sang selebgram berupa jumlah "bill" yang terhitung fantastis bagi kaum proletar macam saya dan mereka yang keberatan tentunya.Â
Kebanyakan mereka membandingkan dengan kehidupan melarat mereka. Salah seorang misalnya berkata, "Kalian bisa tidur gak sih setelah beli makanan harga sampe jutaan? Gue beli mie ayam harga Rp 30 ribu di mall aja udah uring-uringan. Harusnya bisa dapet tiga mangkok di pinggir jalan."
Sebelum lanjut membaca, saya tuang kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas ke lepek. Karena tak memakai cangkir melainkan gelas kaca tanpa pegangan, menuangnya bukanlah hal yang mudah. Jemari Anda harus tahan panas agar berhasil melakukannya.Â
Meski ini bukan kali pertama, nyatanya saya masih bisa ceroboh. Saya menuang kopi kelewat banyak ke lepek hingga membuatnya tumpah ke meja. Saya ambil tisu dan membersihkan genangan kopi di meja.
Saya kembali membaca artikel tersebut. Makin banyak komentar sejenis. Saya jadi penasaran, informasi penting apa kiranya yang ingin dikabarkan lewat artikel tersebut. Sejauh ini saya tak mendapati tujuan mulia ditulisnya artikel itu.
Kopi di lepek sudah mendingin. Saya angkat lepek ke mulut dengan hati-hati agar kopi tak tumpah. Namun gerakan memicu genangan untuk mengombak. Beberapa tetes kopi akhirnya tumpah ke meja dan celana jins saya. Saya agak kesal tapi ya sudahlah.
Kafein bercampur dengan darah saya. Darah lantas mengalir ke otak. Dan Anda tahulah apa yang terjadi selanjutnya. Saya menjadi bijak. Dan yang menjadi objek kebijaksanaan saya adalah isi artikel barusan yang rampung saya baca.
Jika direnungkan dengan baik, ada yang salah dalam artikel tersebut. Menurut saya tak adil rasanya membandingkan standar seseorang dengan standar orang lain yang tak berada di level yang sama (baca: tingkatan sosial berbeda).Â
Hal ini seperti menuang seluruh isi gelas berisi kopi ke lepek yang hanya muat seperempat volume gelas. Hasilnya bakal tumpah dan meluber ke mana-mana. Seperti yang saya lakukan tadi.