"Datang akan pergi. Lewat 'kan berlalu. Ada 'kan tiada. Bertemu akan berpisah."
Lagu berjudul "Sampai Jumpa" bikinan Endank Soekamti ini masih terngiang di telinga saya beberapa saat selepas saya menonton film "One Night Stand". Lagu ini betulan mewakili isi dari film ini, dan menjadi penutup yang manis atas kisah cinta satu malam antara Baskara (Jourdy Pranata) dengan Lea (Putri Marino).
Film ini dibuka dengan adegan panas antara Baskara dengan pacarnya yang kelak bakal menjadi mantan dan bikin Baskara patah. Adegan seks tersebut saya kira merupakan kenang-kenangan perpisahan, sebelum pacarnya itu pergi ke luar negeri. Sejak saat itu mereka pun resmi menjalin LDR. Dan sebagaimana yang kerap terjadi, LDR lebih sering berujung pahit.
Tanpa pemberitahuan "kapan waktu kejadian", adegan berpindah di scene saat Baskara baru sampai di Jogja. Dia bakal menghadiri dua acara sekaligus dalam sehari. Yaitu, upacara pemakaman dan pernikahan. Dua hal yang saya rasa cukup berlawanan, mewakili perpisahan dan pertemuan.
Di bandara, dia bertemu Lea, seorang perempuan yang diminta oleh Om Rendra untuk mengantarnya ke lokasi pemakaman. Selama perjalanan, mereka mengobrol dengan akrab, dan sepanjang film, kedekatan mereka makin nyata hingga terjadilah kisah cinta satu malam itu.
Cerita ala Murakami
Murakami seorang novelis Jepang, kerap menghadirkan tokoh-tokoh dalam karyanya lewat gambaran masyarakat urban kelas menengah dengan beragam masalahnya.Â
Jika Anda pernah membaca karya beliau, misal, "Norwegian Wood", Anda bakal mendapati tokoh-tokoh di dalamnya kerap menyimpan kisah pahitnya sendiri.
Kunci untuk menuju kisah itu, biasanya akan mereka bagi kepada orang yang mereka anggap layak---lebih ke orang yang mereka anggap mau mendengarkan dengan saksama.Â
Seringkali, orang tersebut adalah orang yang hidupnya lurus-lurus saja. Bisa dibilang, orang yang tak punya warna. Jika mengacu ke "Norwegian Wood", sosok tersebut sangat diwakilkan sekali lewat jati diri Watanabe---atau Tazaki dalam novel "Tzukuru Tazaki dan Tahun Ziarahnya". Di film ini, sosok tersebut diwakili oleh Baskara.Â
Digambarkan, Baskara merupakan orang yang sulit untuk berkata tidak, dia anak yang penurut dan hidupnya lurus-lurus saja, bukan orang yang punya kenekatan.Â
Hidupnya hanya soal bekerja dan menabung, layaknya masyarakat urban pada umumnya. Jika diibaratkan, Baskara adalah gelas kosong yang perlu diisi.
Lea kebalikannya. Kisahnya soal pernah minggat ke Sumba demi menemukan jati diri dan menenangkan batin, menunjukkan bahwa Lea adalah gadis yang nekat dan mandiri.Â
Tak seperti Baskara yang hidupnya cenderung sejahtera, Lea punya kisah hidup yang memilukan. Ayahnya meninggalkannya tanpa alasan sejak dia masih kecil. Sesuatu yang agaknya membuat Lea meragukan komitmen pernikahan.
Sosok Lea mengingatkan saya pada sosok Midori di "Norwegian Wood". Meski kegilaannya masih belum menandingi kegilaan Midori, tentunya.
Walaupun film ini berkedok kisah cinta, nyatanya film ini justru seolah ingin menghindari hal-hal berbau romantis. Jika pada umumnya, film-film romance dengan begitu sok tahu mendefinisikan cinta itu anu, cinta itu bla bla; film ini justru meragukannya, bahkan sesekali menertawakannya.Â
Dari interaksi Baskara dan Lea, baik dari gestur maupun dialog keduanya, hal tersebut sangat nampak. Misalnya saja scene di pantai, saat Lea bertanya ke Baskara sambil nyengir dan seolah eneg dengan apa yang ditanyakannya, "Lo ... masih percaya cinta, nggak?" Atau saat Lea menertawakan pengibaratan cinta sebagai "safe place", istilah yang dicetuskan teman Baskara yang hendak menikah.
Sikap Baskara dan Lea ini muncul karena latar belakang mereka, karena apa yang telah mereka alami di masa silam. Baskara patah hati sangat dalam dengan mantan pacarnya.Â
Sementara Lea dibikin kecewa oleh ayahnya yang minggat tanpa alasan jelas. Belum lagi di sepanjang perjalanan, mereka mendapati bahwa pasangan-pasangan di luaran sana juga tak sempurna.
Dengan durasi sekitar 80 menit, dan dengan cerita yang sederhana namun mengena, film ini bisa dibilang padat dan solid. Meski tiap scene-nya seperti jalan-jalan tanpa arah, cuman sekadar ngalir saja, nyatanya tak membuat film ini kehilangan fokus. Film ini ditutup dengan sangat wajar dan itulah bagian terbaiknya. Bisa ditonton di bioskoponline.com.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI