Mohon tunggu...
Shofyan Kurniawan
Shofyan Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Arek Suroboyo

Lahir dan besar di Surabaya. Suka baca apa pun. Suka menulis apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "The Matrix: Resurrections", Ekspektasi Saya Ketinggian

25 Desember 2021   08:17 Diperbarui: 25 Desember 2021   08:32 2426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by: @thematrixmovie

Nostalgia tak selalu berujung manis dan itulah yang diajarkan film The Matrix: Resurrections. Jika diibaratkan, film ini layaknya anak manis dan baik yang menjadi temanmu dua puluh tahun silam, lalu suatu ketika kau bertemu kembali dengannya dan mendapati dia telah banyak berubah---tepatnya menjadi bajingan. Kau kaget betul lalu membencinya.

The Matrix 4 masih diampu oleh sutradara yang sama: Lana Wachowski. Diceritakan bahwa Neo sang juru selamat, telah melupakan jati dirinya sebagai The One dan berganti nama menjadi Thomas Anderson.

Sebagaimana kita tahu, sebagai penonton trilogi The Matrix, tentunya mengingat bagaimana nasib Neo di sekuel ketiga. Neo mengorbankan dirinya demi memutus perang antara manusia dengan mesin. Ternyata di sekuel keempat ini diceritakan tubuh Neo diamankan oleh bangsa mesin, hingga akhirnya ditemukan kembali oleh Bugs (Jessica Henwick), seorang prajurit Zion yang mengidolakan Neo.

Tanpa menyadari kalau dia sebenarnya tenggelam di dunia simulasi, Neo alias Anderson memiliki identitas baru sebagai perancang game ternama trilogi The Matrix. Dia bekerja di perusahaan milik Agent Smith (Jonathan Groff, bukannya Hugo Weaving).

Anderson seolah jenuh dengan hidupnya. Dia mengalami depresi berat. Dia dibuat gelisah oleh kilasan balik di pikirannya, apakah trilogi game yang diciptakannya sebetulnya nyata atau hanya imajinasinya. Karena depresinya inilah dia menemui The Analyst (Neil Patrick Harris), psikiaternya, yang mencekokinya pil biru agar dia tetap melupakan ingatannya soal Trinity, Morpheus, Zion, dan jati dirinya sebagai The One.

Kemunculan Morpheus muda (dengan kesan komikalnya) membuat Anderson makin bingung. Hingga akhirnya Morpheus memberinya pil merah yang membangunkannya dari tidur panjangnya.

Bersatunya Neo dan Trinity

Trilogi The Matrix sebenarnya bercerita soal peretas bernama Neo yang diharapkan mampu melewati semua batasan di dunia The Matrix. Tujuannya jelas untuk mengakhiri perperangan antara bangsa mesin dengan manusia. Sebelum Neo, sudah banyak peretas yang mencoba masuk ke bagian terdalam The Matrix, namun selalu berujung kegagalan. Trilogi ini sebetulnya mengajakmu membayangkan segala program komputer, bahasa mesin yang biasanya berupa deretan angka atau matriks, digambarkan sebagai sebuah kota beserta manusia di dalamnya dengan fungsinya masing-masing. Tugas Neo dan rekan-rekannya adalah masuk ke bagian terdalam The Matrix untuk mengatasi masalah (virus) yang menjadi penyebab peperangan manusia dengan bangsa mesin. Masalah itu bernama Agen Smith, villain utama trilogi tersebut.

Jika melihat trilogi tersebut, sebetulnya tugas Neo dan rekan-rekannya telah rampung. Sebagai trilogi, ketiga film itu sudah padat dan kiranya sudah tak bisa diapa-apakan lagi. Dan inilah yang membingungkan, di manakah kiranya film keempat ini harus direkatkan untuk (lebih) mengutuhkan trilogi sebelumnya?
Nyatanya tak ada tempat yang tepat. Film keempat ini lebih layak dianggap sebagai spin off saja, film yang terpisah dari trilogi utamanya. Kenapa begitu?

Karena ...

Saya tak tahu tugas Neo di sini. Sebagai The One, sang juru selamat, tugasnya telah rampung di film ketiga. Film keempat ini sendiri lebih berfokus pada keinginan Bugs, prajurit Zion yang mengidolakan Neo, untuk membawanya kembali ke realita. Neo tak mau kembali ke realita sendirian tanpa Trinity. Maka jadilah scene-scene selanjutnya hanya seputar kisah penyatuan Neo dengan Trinity yang mendapatkan halangan dari villain utama yang menghendaki mereka tetap tenggelam dalam dunia simulasi.

Tak mengherankan film ini penuh sesak dengan adegan aksi. Mulai dari baku tembak dengan peluru yang dimuntahkan secara boros; hingga baku hantam dengan koreografi yang membosankan. Ya, semua aksi di film ini terkesan murahan, tak memiliki makna bahkan untuk sekadar menciptakan ketegangan. Hal ini diperburuk dengan bergantinya beberapa aktor yang memerankan tokoh-tokoh utama ikonik di trilogi sebelumnya. Absennya Hugo Weaving (Agen Smith) juga Laurence Fishburne (Morpheus) jelas berdampak besar. Agen Smith yang baru tak punya kesan mengintimidasi, bahkan kelihatan sekali Jonathan Groff berusaha keras agar tampak bengis. Morpheus muda juga tak dapat membangkitkan ingatan saya atas Morpheus lama. Morpheus di film ini lebih terkesan ceria dan kurang berwibawa.

Hal baik di film ini barangkali kritiknya pada film-film Hollywood belakangan ini yang kerap membuat film remake dan sekuel yang terkesan dipaksakan demi meraup untung besar, dengan mengeksploitasi nostalgia kita. Sayangnya film ini malah terjebak dengan kritiknya sendiri, seperti senjata makan tuan. Lagipula film ini memang seolah ingin memenuhi sebagian fans yang ingin cinta Neo dan Trinity bisa bersatu.

Mungkin saja di situlah letak kritik sesungguhnya. Film ini mengajarkan bahwa realitas yang kau percayai hanyalah yang ada di kepalamu. Ya, film ini sama sekali tak memenuhi ekspektasi saya---mungkin juga kalian---tapi memangnya siapa suruh berekspektasi kelewat tinggi, percaya bahwa film ini bakal nyaris sama dengan bayangan di kepala saya tentang The Matrix juga Neo? Ya, salah saya sendiri ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun