Lola A. Akerstrom di bagian belakang buku ini mengartikan "lagom" begini: tidak terlalu sedikit, tidak terlalu banyak. Pas.
Lagom sendiri sebetulnya tak memiliki arti yang pasti. Kata itu dalam budaya masyarakat Swedia bisa berubah maknanya tergantung konteks kalimat.
Misalnya, jika Anda adalah seorang juru masak, Anda akan mengatakan pada pelanggan Anda begini: "Maten ar lagom saltad."Â Artinya, makanan itu sudah digarami secara pas."
Atau, misalnya: "Hen kom precis lagom." Artinya, ia datang pada waktu yang tepat (mesti tak tepat waktu sesuai jadwal).
Dari dua contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa "lagom" itu soal saling memperhatikan sesama, peduli satu sama lain. Mungkin saja saya lebih suka makanan yang lebih asin ketimbang Anda. Tapi sebagai juru masak saya tak dapat memaksakan "lagom" saya kepada Anda dengan memasak makanan dengan rasa asin sesuai standar saya. Bagaimanapun makanan itu harus asin sesuai standar Anda.
Lalu, anggaplah Anda terlambat datang ke acara yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Anda tak perlu minta maaf atas itu. Dalam hal ini saya harus memaklumi, mungkin Anda butuh lebih banyak waktu untuk memenuhi "lagom" Anda, sehingga harus datang terlambat.
Yah, "lagom" di sini memang mengedepankan saling pengertian. Masyarakat Swedia sudah terbiasa untuk tak melanggar "lagom" masing-masing orang dan menghormatinya dengan setinggi-tingginya.
Lagom dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Konon "lagom" lahir dari budaya bertukar cawan bangsa Viking. Sehabis lelah merampok seharian, pada malam harinya mereka bakal duduk mengitari api unggun dan minum miras dari botol yang sama. Botol itu berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Dan tiap orang harus minum sesuai kebutuhan mereka, "lagom" mereka. Jika ada seseorang yang serakah menghabiskannya sekali tenggak, orang tersebut bakal dikucilkan dari kelompok karena dianggap tak memenuhi cita-cita "lagom".
Melihat ini jelaslah bahwa untuk menemukan "lagom" kita masing-masing dibutuhkan pengendalian diri yang serius. Dalam buku ini misalnya, Lola menjelaskan, "lagom" mendorong kita untuk mengedepankan kebutuhan ketimbang keinginan kita. Lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Juga berhenti membandingkan hidup Anda dengan orang lain.
Alih-alih mengedepankan persaingan antar sesama, "lagom" lebih mengedepankan berpuas diri atas pencapaian masing-masing. Pandangan yang tidak populer memang di masa sekarang, tapi itu diperlukan untuk membebaskan kita dari tekanan. Dan masyarakat Swedia berhasil dengan itu. Ini terbukti dengan Swedia menduduki peringkat ketiga sebagai negara paling bahagia.