Tak perlu diceritakan pula bagaimana kentalnya campur tangan Amerika yang sarat peran dalam penggulingan Bung Karno serta menaikkan pamor Soeharto sebagai suksesor Soekarno. Setelah Soekarno tidak menjabat presiden RI, ia menjadi tahanan politik yang ditahan di rumah dan dijaga oleh militer dan apabila ingin dibesuk harus atas izin Soeharto. Peristiwa ini tidak ada dalam buku sejarah di sekolah dan Apa alasan Soekarno tidak melawan dengan kudeta yang terjadi karena ia tidak ingin terjadinya perang saudara yang akan memakan banyak korban. Di awal pemerintahan Trump, dia juga mengatakan bahwa Soeharto lah orang di balik ini semua ini dengan mempublikasi dokumen rahasia AS (dokumen telegram, tertanggal 21 Desember 1965). Dalam dokumen itu juga, disertakan beberapa data informatif yang mengatakan sekitar 100.000 orang telah dibunuh, di Bali ada sekitar 10.000 orang yang dibantai, termasuk orang tua dan kerabat Gubernur Bali yang pro komunis, dan setelah dua bulan, pembantaian sudah 80.000 korban. Pemerintah Indonesia juga tidak mengetahui berapa angka pasti dari total korban antara 100.000-1 juta jiwa.
Asa Freeport yang meredup kini kembali merekah dengan perubahan politik di Jakarta. Langbourne Williams, salah satu petinggi Freeport di akhir tahun 1965, mengaku telah diminta oleh pejabat Gedung Putih untuk bersiap-siap untuk masuk ke Irian Jaya, padahal saat itu Soekarno masih sebagai RI I. Tapi, Freeport sepertinya sudah membaca arah politik di Jakarta. Freeport bergerak cepat dengan memakai jalur lobby yang dibangun oleh Agustus C. Long. Melalui tangan Ibnu Sutowo dan Julius Tahija, Freeport menginisiasi pertemuan di Jenewa, Swiss, untuk merancang peraturan yang mengubah kebijakan Indonesia yang sebelumnya anti terhadap penanaman modal asing. Konsep dan naskah dari peraturan itu didikte dan dinarasikan oleh Rockefeller, konglomerat adidaya Amerika. Peraturan itu berhasil disusun dalam waktu yang sangat singkat dan disahkan menjadi Undang-Undang Pertama di tahun 1967 (UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing) yang notabene disusun dan dibuat di Jenewa. Pasca-Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, yang menandai tonggak berdirinya Orde Baru, Soeharto berturut-turut menerbitkan Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 tahun 1967 sebagai payung kegiatan pertambangan yang dibutuhkan Freeport untuk menginjakkan kaki di Irian Jaya. Tapi sebelumnya, pada 7 April 1967, Freeport telah mendirikan usaha berbadan hukum Indonesia dengan nama PT Freeport Indonesia - PTFI adalah perusahaan asing pertama yang didirikan pasca-Bung Karno lengser. Freeport seolah-olah disediakan payung bahkan ketika hujan belum turun. Di penghujung tahun 1967, salah satu cuplikan dalam sejarah Indonesia tercatatkan - pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya pertama yang menyerahkan hak kelola atas sumber daya alam di Irian Jaya kepada Freeport. Dari sinilah, PTFI mulai menanamkan investasi yang sangat besar di bumi Papua. Timika yang dahulu kala adalah hutan belantara mulai disulap menjadi kota tambang yang dihuni ribuan orang dari berbagai warna kulit dan suku bangsa.
Bagaimana dengan kabar Penentuan Pendapat Rakyat yang menjadi salah satu klausul dalam perjanjian New York?
Pemerintah Indonesia dengan didukung oleh perwakilan staf PBB mengadakan Pepera pada tahun 1969. Namun dengan beberapa alasan, Pepera ini tidak diikuti oleh seluruh warga Papua, tetapi melalui sistem perwakilan. Hasil pepera telah kita ketahui bersama bahwa mayoritas perwakilan rakyat Papua setuju untuk bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera ini segera di bawa ke sidang PBB untuk disahkan, namun banyak suara sumbang yang mempertanyakan pelaksanaan dan hasil Pepera. Beberapa negara dan perwakilan PBB menuding ada intimidasi, mobilisasi, dan kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam jajak pendapat tersebut. Selain itu, sistem perwakilan yang digunakan dalam jajak pendapat dianggap menyalahi klausul dalam perjanjian New York karena tak menggunakan prinsip One Man One Vote.
Tapi anda perlu tahu siapa negara di barisan paling depan yang membela Indonesia dan mendukung hasil Pepera di Papua adalah Amerika, negara yang baik hati itu. Anda mungkin perlu tahu mengapa Amerika begitu gigih membela Indonesia kala itu. Faktualitas yang terselubung di balik misi tersebut tidak terlepas dari peran Freeport ke depannya yakni memegang kunci emas dan tembaga di tanah Papua. Dengan dukungan penuh Amerika, hasil Pepera itu disahkan oleh PBB, kendati tidak dengan suara bulat dan sejak saat itu Papua pun disahkan sebagai wilayah NKRI, walaupun sekelompok pihak yang menyatakan diri sebagai GPM tak pernah mengakui hasil itu dan memilih untuk angkat senjata melawan Pemerintah. Begitulah gunung emas yang bernilai miliaran dolar Amerika itu dan didaulat sebagai salah satu tambang emas, tembaga, dan perak terbesar di dunia, menjadi pundi-pundi kekayaan Freeport hingga hari ini dan detik ini.
*translated by 404 - found on Dec, 15th, 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H