Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata informal berarti tidak resmi atau bersifat pribadi (personal). Segala sesuatu yang tidak resmi tentunya bersifat longgar terhadap aturan baku yang terstandar dan batasan-batasan primordial. Sistem interaksi di dalam informalitas bersifat cair, tidak terstruktur dan alamiah (spontan) begitu saja.
Jika kita gabungkan kata informal secara harfiah dengan kata pendidikan, sehingga menjadi frase 'Pendidikan Informal' maka secara harfiah kita akan mengatakan bahwa pendidikan informal merupakan pendidikan yang tidak terstruktur, bersifat alamiah dan cair.
Namun ketika kita hendak berdialektika dengan konteks pendidikan di Indonesia dewasa ini khususnya maka tidak cukup kita mengartikan pendidikan informal secara harfiah saja.
Secara terminologis, pendidikan informal diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari denan sadar atau tidak. Sejak seseorang lahir sampai mati. Di lingkungan keluarga, masyarakat hingga di dalam lingkup pekerjaan dan pengalaman sehari-hari secara umum (Soelaiman Joesoef,dkk, 1981:45). Pendidikan informal juga tidak terjadi di dalam medan interaksi belajar mengajar buatan sebagaimana pada pendekatan pendidikan formal dan non-formal (Sanapiah Faisal. 1981:48-49).
Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan informal memang sangat cair, otonom, luas dan relative nir-waktu. Cenderung tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Pendidikan informal hakekatnya mencakup semua aspek kehidupan manusia selama hidupnya. Melingkupi bahkan melampaui batasan-batasan dan perbedaan primordial berupa norma-norma yang berbeda di masyarakat. Mempengaruhi sekaligus dipegaruhi norma-norma maupun anomi di semua aspek kehidupan di masyarakat.
Maka seharusnya, idealnya, pendidikan informal, non-formal hingga pendidikan formal tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tidak bisa di-dikotomi-kan satu sama lain secara biner. Perbedaan ketiganya harusnya lebih bersifat administratif bukan substantif. Dengan kata lain ketiga macam ranah pendidikan itu mengandung unsur yang saling tumpang tindih dan terhubung secara dinamis.
Di dalam pendidikan formal juga terkandung nilai-nilai dan unsur pendidikan informal begitu pula sebaliknya. Tiga ranah pendidikan itu tentu saja mempunyai kedudukan dan perannya masing-masing yang berbeda dan seharusnya saling melengkapi.
Kita lihat misalnya peran pendidikan informal yang justru sangat penting dan vital namun jarang disadari masyarakat kita. Bahwa dengan daya jangkaunya yang luas dan relatif 'bebas' terhadap sekat-sekat norma tertentu, pendidikan informal merupakan jangkar dan ujung tombak penciptaan nilai-nilai baru di masyarakat. Dalam jangka panjang, nilai-nilai baru inilah yang akan mempengaruhi pembentukan norma, hukum hingga etika di masyarakat.
Namun dewasa ini kita cenderung mereduksi makna pendidikan informal dengan label 'pendidikan alternatif' sehingga stereotype yang terbentuk di masyarakat saat ini ialah pendidikan informal hanya sebagai pelengkap yang boleh ada boleh tidak ada di masyarakat.
Padahal pendidikan informal mempunyai fungsi strategis yang tidak cukup kita posisikan hanya sebagai pendidikan opsional yang tidak terintegrasi secara substansial dengan lingkup pendidikan formal dan non-formal.