Ageisme (diskriminasi usia) di Indonesia menjadi salah satu persoalan yang berulangkali disuarakan Gen Z dan Milenial di media sosial. Tapi anehnya, sejauh yang saya ketahui, belum ada tanggapan apalagi tawaran solusi mengenai persoalan ini dari capres-cawapres yang sudah wara-wiri berkampanye dimana-mana dan bicara banyak hal mengenai seabreg persoalan bangsa. Mengapa persoalan krusial yang aktual dan spesifik seperti ageisme ini belum dibicarakan sama sekali oleh mereka? Padahal semua capres-cawapres mengklaim sebagai si paling representatif dimata Gen Z dan Milenial.Â
Dear capres-cawapres, seandainya kalian ketahui bahwasanya di kolom-kolom komentar netizen di banyak postingan viral yang saya telusuri di platform media sosial X, terpantau cukup banyak netizen yang komen ingin memberikan suaranya kepada capres-cawapres yang mau speak up soal ageisme ini. Artinya persoalan ageisme ini cukup seksi dan sangat bisa mendulang suara besar dari kalangan Gen Z dan Milenial yang paling berkepentingan dengan isu ageisme yang menentukan masa depan karier dan penghidupan mereka. Tetapi lagi-lagi, anehnya sampai hari ini saya belum mendengar satu pun capres-cawapres yang speak up soal ageisme ini meski cuma sepatah dua patah kata.Â
Persoalan ageisme ini memang merupakan diskriminasi terang-terangan bagi calon pekerja dan peserta didik yang seringkali tidak masuk akal bahkan cenderung absurd. Misal, apa relevansinya menerapkan batas usia maksimal 25 tahun bagi calon pekerja customer service call center? Pun juga apa relevensinya menerapkan batas usia maksimal 30 (bahkan sekarang ada yang 27 tahun) untuk masuk S2 perguruan tinggi. Â
Tetapi memang bisa saja sangat masuk akal jika dilihat dari sisi user tenaga kerja, jika kita bicara soal ageisme di kalangan pekerja, karena seperti disinyalir banyak netizen di media sosial, semakin muda usia pekerja maka akan semakin mudah dikendalikan dan daya tawarnya juga masih lemah.Â
Diasumsikan calon pekerja yang masih hijau dan ingusan akan mudah sekali ditekan soal upah karena toh usia masih muda belum banyak tanggungan bukan? Juga soal kepastian karier dan hak-hak pekerja lainnya yang dianggap lebih fleksibel untuk ditawarkan kepada calon pekerja usia muda dengan ketentuan kontrak misalnya. Sebaliknya calon pekerja yang sudah dianggap berumur seringkali diasumsikan sudah berpengalaman dan tidak akan mudah begitu saja dikendalikan dan ditekan hak-haknya sebagai pekerja.Â
Pada titik persoalan inilah semestinya capres-cawapres bisa menawarkan solusi, misalnya melalui Kementerian Ketenagakerjaan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah wewenangnya nanti untuk melihat apakah diskriminasi ageisme itu terkait dengan tekanan dan siasat user pekerja untuk mengakali hak-hak pekerja dan peserta didik yang menyebabkan diskriminasi ageisme ini tetap berlanjut atau tidak?Â
Persoalan Normatif dan Struktural Ageisme di Indonesia
Pertama, para capres-cawapres bisa melihat persoalan ageisme dari sisi normatif terkait persoalan penegakan hukum. Bukankah hukum konstitusi di Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945) pasal 27 ayat 2, sebagai rujukan hukum tertinggi dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Â
Secara tersirat, hukum konstitusi tersebut menekankan hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan tanpa diskriminasi. Dengan demikian semestinya, peraturan perundangan di bawahnya terkait ketenagakerjaan dan pendidikan sudah harus mengatur larangan dan sanksi bagi perusahaan dan kampus yang masih menerapkan diskriminasi ageisme seraya melindungi setiap warga negara pekerja dari diskriminasi ageisme di dunia kerja.
Kedua, selain persoalan normatif, capres-cawapres selanjutnya bisa menilik dan membedah akar persoalan struktural yang menyebabkan masih langgengnya ageisme di Indonesia. Salah satunya misal dengan simulasi persoalan berupa pertanyaan mengapa ageisme masih dinormalisasi di Indonesia? Tentu saja ada banyak variabel yang menyebabkannya. Salah satunya misal terkait faktor rendahnya daya tawar pekerja di Indonesia sehingga user tenaga kerja bisa dengan mudah dan kadang juga seenaknya menerapkan berbagai syarat seleksi yang diskriminatif sekalipun.
Salah satu yang menyebabkan rendahnya daya tawar pekerja di Indonesia adalah realitas pasar kerja yang masih surplus tenaga kerja sementara jumlah lapangan kerja sangat terbatas. Realitas ini tentu menyebabkan kondisi ketimpangan dimana penawaran (suplay) tenaga kerja tidak sebanding dengan permintaan (demand) tenaga kerja. Jumlah lapangan kerja yang terbatas tidak sebanding dengan membludaknya pencari kerja. Apalagi struktur piramida usia muda di Indonesia saat ini masih didominasi oleh usia muda karena kita sedang berada dalam masa bonus demografi sampai mencapai puncaknya di tahun 2030-2037 nanti.
Namun apapun faktor yang menyebabkan ageisme di dunia kerja dan pendidikan Indonesia hari ini, sama sekali tidak bisa menjadi dalih yang membenarkan diskriminasi berdasarkan usia ini. Maka di titik inilah tawaran solusi atau alternatif jalan keluar yang realistis bagi persoalan ageisme bisa ditawarkan sebagai solusi dari capres-cawapres jika nantinya terpilih di kontestasi Pilpres 2024. Melalui elaborasi akar persoalan dan tinjauan realitas persoalan maka tawaran solusi ageisme dari capres-cawapres bukan sekadar janji-janji manis tetapi lebih kepada tawaran solusi yang realistis dan bisa diukur pelaksanaannya di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H