Pertengahan abad 20 tercatat dalam sejarah sebagai era lahirnya negara-bangsa. Ada semangat zaman (zeitgeist) yang mendukung gerakan anti-kolonialisme. Dunia waktu itu sedang menghendaki perubahan tatanan pasca Perang Dunia II. Pada masa itu gelombang anti-kolonialisme memang tengah naik daun. Ada semacam era baru (new era) yang menentang kolonialisme di seluruh dunia.
Semangat dan keberpihakan zaman pada gerakan anti-kolonialisme mencapai puncaknya pada awal paruh kedua abad 20. Sejarah telah mencatat ketika itu Presiden Soekarno bersama beberapa kepala negara Asia-Afrika melalui forum Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung menyuarakan kemerdekaan Aljazair, Libya, Sudan, Tunisia hingga Palestina.Â
Tidak lama setelah itu, negara-negara tersebut memperoleh pengakuan kemerdekaan secara resmi dari dunia internasional secara bulat minus Palestina. Maka KAA 1955 di Bandung tercatat dalam sejarah sebagai konferensi legendaris yang berhasil menampung dan menyalurkan aspirasi negara-negara asia-afrika yang pada waktu itu tengah berjuang keluar dari belenggu penjajahan.
Kini perang kemerdekaan (minus palestina) telah berakhir namun bukan berarti persoalan telah berakhir, justru muncul persoalan baru terkait ketimpangan ekonomi dan konflik teritorial di antara negara-negara Asia-Afrika. Meskipun secara fisik penjajah telah terusir dari teritorial Asia-Afrika namun masalah multidimensi yang melanda negara Asia-Afrika masih tetap ada.Â
Barangkali inilah yang pernah diperingatkan Presiden Soekarno kala itu mengenai neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (nekolim) pasca berakhirnya kolonialisme fisik.Â
Dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB di New York, 30 September 1960, Bung Karno dengan lantang mengecam dominasi segelintir negara-negara kaya di belahan bumi utara atas ratusan negara lain di dunia terutama di Asia-Afrika.
Mengapa negara-negara Asia-Afrika yang secara de-facto mempunyai kekayaan alam, jumlah penduduk yang besar serta kejayaan peradaban masa silam justru tidak mempunyai peran penting dalam setiap pengambilan keputusan di dunia.Â
Maka salah satu tujuan Gerakan Non-Blok, yang juga lahir melalui KAA di Bandung, adalah menentang dominasi segelintir negara adikuasa seraya menempatkan kedudukan dan peran negara-negara Asia-Afrika dengan semestinya. Bukankah setiap keputusan penting di dunia akan berdampak langsung pada penduduk Asia-Afrika dimana mayoritas penduduk dunia bermukim di sana.
Gerakan Non-Blok menghendaki dunia yang tidak terpolarisasi dalam dua kutub yang bertentangan dan mengancam perdamaian dunia. Soekarno dan gerakan Non-Blok-nya menghendaki tatanan dunia yang multipolar daripada unipolar dimana hubungan antar negara terjalin dalam semangat kesetaraan bukan atas dasar penindasan dan pemerasan. Tidak ada lagi negara adidaya yang seenaknya sendiri mengatur dan mengendalikan urusan negara lain. Tidak ada lagi polisi dunia yang bisa mengancam kedaulatan negara lain.
Agaknya harapan Bung Karno akan kemajuan peran negara-negara Asia-Afrika di dunia sudah mulai tampak dewasa ini. Meskipun bagaimana atau seperti apa peran ideal menurut cita cita Bung Karno belum tentu sejalan dengan era saat ini mengingat semakin tumbuh pesatnya kapitalisme di seluruh dunia, termasuk di negara-negara Asia-Afrika. Â
Namun tak bisa dipungkiri bahwa abad 21 hari ini adalah abad Asia. Salah satu indikatornya ialah munculnya raksasa-raksasa ekonomi baru di kawasan Asia seperti Tiongkok dan India. Bahkan volume ekonomi atau PDB China saat ini telah melampaui Amerika Serikat.Â
Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh bonus demografi dan kekayaan alam yang melimpah telah memunculkan bintang-bintang baru bahkan 'kuda hitam' dalam peta politik dan ekonomi dunia. Kini perlombaan kemajuan negara-negara di dunia agaknya akan segera dimenangkan oleh negara-negara di kawasan Asia.
Kemajuan ekonomi dan demografi negara-negara di Asia khususnya Tiongkok dan India perlahan telah mengubah peta kekuatan geopolitik dunia yang selama ini didominasi negara-negara barat.Â
Presiden Xie Jin Ping dan Presiden Putin bahkan menyerukan pentingnya tatanan dunia baru yang multipolar daripada unipolar. Sejak pasca Perang Dunia II, dunia cenderung didominasi oleh suatu hubungan antar negara yang bersifat unipolar sehingga banyak negara berkembang yang hanya di-dikte dan dikendalikan nasibnya oleh negara kuat di utara. Â Â
Pendulum sejarah sepertinya tengah bergeser kepada negara-negara di Asia-Afrika di tengah semakin lambannya pertumbuhan ekonomi dan struktur demografi yang kian menua di negara-negara barat.Â
Kini dunia mau tidak mau akan menambatkan harapan masa depannya pada Asia. Meski demikian, persoalan kesenjangan ekonomi, konflik teritorial, krisis iklim hingga demografi penduduk masih menjadi ancaman yang nyata bagi negara-negara di Asia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H