Sebagian orang masih memandang problem sosial seperti kemiskinan sekadar persoalan domestik-individual. Problem kemiskinan cenderung dipandang sebagai persoalan domestik yang seakan tidak mempunyai kausalitas dengan problem sosial yang lebih luas seperti ketidakadilan dan ketimpangan. Pandangan yang mereduksi problem kemiskinan dari konteks sosial telah menafikkan fakta panjang ketidakadilan dan penindasan akibat manipulasi, kecurangan dan akumulasi primitif dari relasi kuasa yang timpang.Â
Manusia (individu) tidak diciptakan tuhan sekonyong-konyong menjadi miskin dan bodoh tanpa sejarah dan faktor-faktor determinan secara sosial di mana ia dilahirkan. Memang kemiskinan dan kebodohan disebabkan oleh berbagai faktor baik individual maupun sosial. Namun dalam konteks masyarakat beradab (civil society) atau negara yang berlandaskan hukum, dimana kompromi sosial niscaya berlaku demi stabilitas dan kovergensi sosial maka adanya kemiskinan patut dipertanyakan sebagai akibat kecurangan dan manipulasi sosial.Â
Di dalam konteks masyarakat modern yang beradab, kemiskinan adalah problem kegagalan sosial bukan individual. Sebaliknya di dalam lingkup masyarakat barbar dimana konvergensi dan kompromi sosial tidak menjadi nilai yang disepakati bersama maka kemiskinan maupun persaingan menang-kalah adalah karena seleksi alam, hukum survivalisme antar manusia, adu kuat otot dan otak dari tiap individu manusianya sendiri (survival of the fittest). Siapa yang lebih besar kekuatannya akan memenangi pertarungan atau seperti kata pepatah Jawa, Asu Gedhe Menang Kerahe (Anjing besar akan memenangkan kompetisi).
Kemiskinan Struktural di Era Indonesia Modern, Bagaimana Mulanya?
Fakta empiris sejarah menunjukkan bahwa problem kemiskinan tidak sekonyong muncul tanpa persoalan sistematis yang melatarbelakanginya. Dalam konteks Indonesia modern, setidaknya dapat dilihat bahwa problem kemiskinan telah menjadi persoalan struktural yang kian rumit sejak proyek pembangunan (developmentalisme) dan modernisasi bergulir di awal Orde Baru. Modernisasi dan pembangunan yang dalam praksisnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi karena dipaksakan secara vertikal (top-down) melalui represi negara tanpa dialektika dengan konteks sosial masyarakat yang majemuk.
Modernisasi dan pembangunan tidak diletakkan ke dalam konteks sosial dan kontinuasi budaya masyarakat sehingga gagal melihat kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Justru proyek pembangunan dan modernisasi telah memaksakan parameternya sendiri dengan mengabaikan kesadaran kontekstual akan realitas kebutuhan kolektif masyarakat itu sendiri. Kegagalan membaca realitas kolektif dari kebutuhan rakyat yang sejati telah mendorong proyek pembangunan dan modernisasi di masa Orde Baru justru menjadi alat yang berfungsi sebagai kekuatan legal yang mengkerdilkan potensi rakyat yang berdaulat. Maka alih-alih mengentaskan kemiskinan justru muncul pemiskinan karena rakyat tidak diberikan hak untuk mengatur dan menginisiasi kehidupan mereka sendiri melainkan hanya menjadi objek yang diatur menurut kepentingan pihak lain.
Pembangunan juga telah mendorong hancurnya ikatan tradisional dan moralitas lama namun gagal mewujudkan moralitas dan nilai-nilai modernitas yang baru seperti demokrasi, kepastian hukum dan pasar yang fair. Â Masyarakat Indonesia yang dulunya hidup dalam tatanan nilai-nilai komunal tiba-tiba dipaksa menerima nilai-nilai individualistik. Akibatnya persoalan kolektif seperti kemiskinan pada akhirnya juga dianggap sebagai persoalan individual bukan komunal. Dari sinilah terlihat mulanya distorsi pandangan sebagian orang dalam melihat problem kemiskinan hanya sebagai problem individual bukan struktural karena problem kemiskinan dipisahkan dari konteks sosial masyarakat dimana proses kemiskinan itu bermula.
Pada akhirnya modernisasi dan pembangunan telah menciptakan anomi sosial. Maka munculah ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang yang membuka celah bagi praktik korupsi, nepotisme dan kolusi yang melahirkan privilese bagi segelintir orang yang mampu mengakses sumber daya melalui kongkalikong dengan yang berwenang. Inilah yang menjadi akar kesenjangan dan ketimpangan struktural akibat tiadanya kesetaraan dan keadilan terhadap akses sumber daya yang semestinya menjadi hak seluruh rakyat. Padahal Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan berlaksa potensi kekayaan alam dan kreativitas manusia yang jika dikelola dengan baik tentu akan memberikan berkah kesejahteraan yang berlimpah bukan justru menjadi ironi dan kutukan bagaikan ayam mati di lumbung pangan dengan banyaknya angka kemiskinan rakyatnya. Â
Ketimpangan Struktural
Penelitian ilmiah dari The SMERU Research Institute mengungkapkan mengapa anak dari keluarga miskin cenderung berpendapatan lebih rendah ketika dewasa. Penelitian tersebut menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga berkecukupan. (Mengapa anak dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa: penjelasan temuan riset SMERU, The Conversation, Desember, 3, 2019).Â