Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pangeran Diponegoro, Sang Inspirator Kemerdekaan Indonesia

23 Oktober 2023   09:39 Diperbarui: 10 Januari 2024   08:38 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh. Sumber Ilustrasi: wikipedia.org

"Pangeran Diponegoro adalah 'Penendang Bola Salju' Kemerdekaan Indonesia" -Peter Carey

 

Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu perang terbesar sepanjang sejarah peperangan bangsa-bangsa Nusantara melawan kolonial Belanda. Perang ini jauh lebih kompleks dan lebih merusak dibandingkan peperangan di teritori yang sama di seluruh Jawa bahkan di banyak palagan lain di Nusantara. Perang Jawa adalah perang rakyat semesta di Jawa karena melibatkan secara kolosal hampir semua lapisan kelas sosial masyarakat di Jawa mulai dari rakyat biasa (kawula) hingga sebagian kaum ningrat (bangsawan) dan tokoh agama dalam satu barisan di palagan melawan penjajahan Belanda. 

Perang Jawa (Java Oorlog) merupakan perang besar yang nyaris membangkrutkan pemerintah kolonial Belanda. Perang ini telah menguras keuangan pemerintah kolonial Belanda tidak kurang dari 25 juta Gulden. Merusak hampir seperempat luas daerah pertanian di Jawa bagian selatan dan tengah hingga menewaskan tidak kurang dari 200 ribu rakyat Jawa dan 15 ribu tentara Belanda selama lima tahun peperangan berlangsung (1825-1830). 

Itulah sekilas prolog gambaran umum mengenai Perang Jawa yang seringkali tercatat di buku-buku sejarah dan berbagai kutipan media massa. Tetapi sebenarnya seperti apakah Perang Jawa dilihat dari perspektif penyebabnya dan bagaimana perang kolosal rakyat Jawa ini menginspirasi pergerakan kemerdekaan Indonesia lebih seratus tahun kemudian?

Takdir Perlawanan Pangeran Diponegoro

Dilihat dari skalanya, Perang Jawa tentu saja jauh lebih besar dan kompleks dari sekadar perang bagi kepentingan figur tertentu maupun suatu golongan demi meraih ambisi kekuasaan semata. Perang Jawa juga berbeda dengan perang-perang besar lainnya dalam sejarah perlawanan bangsa-bangsa Nusantara terhadap kolonial Belanda yang kebanyakan merupakan peperangan kesultanan Islam bersama dengan rakyatnya melawan kekuasaan ekspansionis kolonial. Perang Jawa adalah perang rakyat Jawa bersama dengan sebagian elitnya melawan kekuatan kolonial Belanda sekaligus sebagian elit pribumi Jawa yang mendukung Belanda. 

Perang Jawa bisa dikatakan merupakan perang yang berlandaskan pada perjuangan mempertahankan nilai-nilai kebangsaan Jawa dan tatanan lama di sana yang tersingkirkan oleh kekuatan kolonial. 

Perjuangan menegakkan kembali nilai-nilai dan kepercayaan akan tatanan lama di Jawa inilah yang menjadi akar penyebab pecahnya perang kolosal rakyat Jawa. Perang Jawa adalah aspirasi yang berasal dari lubuk hati rakyat Jawa yang tertindas oleh kekuasaan kolonial sehingga perang ini bukanlah suatu mobilisasi dan propaganda kekuasaan elit terhadap rakyatnya untuk memberontak terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Meskipun selama ini penyebab pecahnya Perang Jawa yang diajarkan, khususnya melalui materi pelajaran sejarah di sekolah cenderung bersifat kasuistik sehingga gagal menyingkap akar persoalan sesungguhnya yang melatarbelakangi pecahnya perang besar ini. 

Disebutkan bahwa pecahnya Perang Jawa dipicu pemasangan patok oleh Belanda di tanah leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo untuk kepentingan pelebaran jalan. Kasus pelebaran jalan yang menyerobot tanah leluhur Pangeran Diponegoro adalah fakta sejarah yang memicu pecahnya Perang Jawa namun tidak pernah dijelaskan mengapa Belanda dengan lancang memerintahkan pemasangan patok jalan di tanah leluhur Sang Pangeran?

Tidak pernah dijelaskan bahwasanya tindakan Belanda yang lancang itu adalah salah satu peristiwa atau fenomena yang menjelaskan suatu akibat dari perubahan tatanan lama di Jawa. 

Peter Carey dalam bukunya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 1 menjelaskan bahwasanya dalam kurun lebih dari dua dasawarsa (1808--1830) tatanan lama Jawa dihancurkan dan sebuah pemerintah kolonial baru didirikan---suatu peristiwa yang mendorong kekuatan identitas kembar, Islam dan kebangsaan Jawa, ke dalam suatu perseteruan sengit dengan gelombang imperialisme yang dibawa oleh gubernemen Hindia Belanda. 

Perseteruan sengit itu dikenal sebagai Perang Jawa (1825--1830). Perseteruan itu berakhir dengan kekalahan dan pengasingan Diponegoro. Pasca perang besar itulah lahir suatu zaman baru di nusantara, zaman kolonial, yang berlangsung hingga pendudukan militer Jepang (1942--1945).

Melihat gambaran besar itu maka kasus pelebaran jalan di tanah leluhur Pangeran Diponegoro sesungguhnya dapat dibaca sebagai percikan api yang mengobarkan Perang Jawa. Sedangkan api besar dalam sekam yang sesungguhnya menjadi bahan bakar pecahnya Perang Jawa adalah perubahan nilai-nilai dan tatanan lama Jawa yang dipaksakan sepihak dan tidak adil oleh Belanda sejak beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Jawa.

Menurut Peter Carey--dalam Kecamuk Perang Jawa, National Geographic, Edisi Agustus, 2014--Perang Jawa sesungguhnya memang sudah dipersiapkan setidaknya sejak 12 tahun sebelumnya. Terbukti dari stempel beraksara jawa atas nama 'Bendara Pangeran Arya Dipanegara' yang tertinggal beserta sejumlah uang saat pasukan Belanda menyerbu kediaman Sang Pangeran di Tegalrejo yang juga menandai dimulainya Perang Jawa. Stempel itu mengindikasikan bahwa Perang Jawa sudah dipersiapkan sejak lama. (Peter Carey, Suratan Tragis Sang Pangeran yang hidup di zaman edan. 

Berdasarkan fakta itu maka sesungguhnya akar penyebab yang memicu pecahnya Perang Jawa adalah akibat dari akumulasi peristiwa dan serangkaian kejadian atau fenomena dari kondisi aktual waktu itu. Sebagaimana dikatakan lagi oleh Peter Carey--dalam Kecamuk Perang Jawa, National Geographic Indonesia, Edisi, Agustus 2014--disebutkan bahwa penyebab pecahnya Perang Jawa yang pertama adalah akumulasi dari kemuakan dan penderitaan rakyat Jawa menghadapi kesewenangan pemerintah kolonial Belanda yang memaksakan pemungutan pajak yang memberatkan. Beberapa tahun menjelang pecahnya Perang Jawa, Belanda mulai memperluas penerimaan pajak tak langsung yang dipungut melalui orang-orang cina. Di tengah paceklik ekonomi dan bencana alam yang melanda, rakyat Jawa masih dibebani berbagai macam pajak yang dipungut dengan paksa kepada mereka. 

Penyebab kedua adalah sikap melampaui batas moralitas dari para pembesar Belanda yang gemar mencemari Keraton Yogyakarta dengan perilaku cabul dan minum-minuman keras. Belanda juga banyak mencampuri urusan rumah tangga hingga tradisi sakral di Keraton Yogyakarta. Padahal Pangeran Diponegoro, hingga beberapa tahun sebelum pecahnya perang Jawa, adalah wali kerajaan bagi Sultan Yogyakarta yang juga keponakannya (Hamengkubuwono V) yang masih balita. 

Tindakan melampaui batas para pejabat Belanda di Keraton Yogyakarta jelas mengusik harga diri Sang Pangeran bukan hanya sebagai pribadi namun juga terkait martabat Keraton Yogyakarta dan leluhurnya yang ia junjung dan cintai sepenuhnya. Dengan demikian Perang Jawa sesungguhnya adalah perang mempertahankan asa kehidupan dan martabat bangsa Jawa yang tertindas oleh penjajahan kolonial Belanda. 

Dus, pecahnya Perang Jawa bukan sekadar aspirasi elitis para bangsawan yang terdesak oleh perubahan tatanan lama Jawa yang tidak menguntungkan kedudukan mereka. Perang Jawa adalah gabungan dari dua persoalan utama (pemaksaan pajak dan perubahan tatanan suprastruktur politik) itu yang pada hakikatnya bermuara kepada suatu aspirasi patriotik untuk mempertahankan hak-hak martabat dan kehormatan bangsa dan rakyat Jawa dari penindasan kolonial Belanda. 

Namun demikian Pangeran Diponegoro juga disebut oleh sebagian sejarawan dengan tendensi yang kurang simpatik sebagai pemimpin Perang Jawa yang semata berusaha mempertahankan status quo tatanan lama di Jawa dari perubahan yang dipaksakan oleh Belanda. Perubahan tatanan lama Jawa dianggap kurang menguntungkan klan bangsawan, yang memegang otoritas status quo waktu itu, dimana Sang Pangeran adalah salah satu di antaranya. 

Namun banyak yang melupakan bahwasanya Pangeran Diponegoro, berbeda dengan kebanyakan bangsawan Jawa lainnya, sangat dicintai dan dekat dengan rakyat kebanyakan. Kedekatan dan popularitas Pangeran Diponegoro di kalangan rakyat Jawa bukan sekadar penampakan artifisial semata sebab ia juga diakui sebagai bangsawan santri dan seringkali hidup di tengah-tengah rakyatnya dan mengerti betul seluk-beluk dan kesulitan hidup mereka. 

Bahkan kedekatan Pangeran Diponegoro dengan rakyat seringkali menjadi bahan ejekan di kalangan bangsawan karena tata hidupnya yang nyantri dan membumi. Itulah mengapa perlawanan terhadap Belanda yang dipimpinnya dengan cepat mendapat legitimasi dan kesukarelaan rakyat Jawa untuk bergabung dalam perang besar yang kemudian disebut Perang Jawa. 

Bahkan muncul seloroh (khususnya di sebagian masyarakat Jawa) bahwasanya Perang Jawa adalah perang terakhir dimana aspirasi yang dibawanya bukanlah semata karena urusan perut (ekonomi) tetapi lebih karena terlukanya harga diri dan martabat rakyat jawa oleh kesewenangan penjajah Belanda. Dengan kata lain, Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah perlawanan patriotik rakyat jawa yang terakhir untuk mempertahankan haknya atas tanah air dan martabat bangsanya dari penindasan bangsa asing.  

Kepahlawanan Pangeran Diponegoro yang Menginspirasi Kemerdekaan Indonesia

Hingga seabad setelah berakhirnya Perang Jawa, sejarah membuktikan bahwa Pangeran Diponegoro telah menginspirasi lahirnya Nasionalisme Indonesia menentang kolonialisme Hindia Belanda. Pangeran Diponegoro bahkan menjadi simbol heroisme dan patriotisme yang menginspirasi pergerakan nasional antikolonial Belanda di awal abad 20. Pangeran Diponegoro menjadi figur pahlawan bagi rakyat tertindas dan sejarah perjuangan hidupnya dikenang sebagai epos kepahlawanan (heroisme) yang membela martabat dan hak-hak rakyat yang tertindas.

Sejarah kehidupan Sang Pangeran yang dekat dengan rakyat biasa menjadikan sosoknya diterima sebagai pahlawan bagi semua golongan. Sejak masa awal pergerakan nasional, semua faksi pergerakan baik kaum nasionalis, komunis maupun agama sepakat tanpa bantahan mengakui sosok kepahlawanan Pangeran Diponegoro. Masing-masing golongan merasa memiliki dan mewarisi semangat perjuangan Sang Pangeran. 

Kaum nasionalis terinspirasi oleh patriotisme berupa keberanian dan pengorbanan Pangeran Diponegoro membela harkat, martabat dan harga diri bangsa dari penindasan penjajah. Sedangkan bagi kaum komunis, Pangeran Diponegoro adalah bangsawan yang membela hak-hak agraria bagi kaum proletar, para petani kecil di jawa yang tertindas oleh sistem pajak kolonial Belanda. Begitu pula kaum agama jelas memiliki kedekatan yang nyata dengan Sang Pangeran yang tak diragukan merupakan santri yang bergelar Ratu Adil dan diakui memiliki kewenangan mengatur hukum agama, Heruckro Sayyidin Panotogomo.      

Begitu besarnya pengaruh Sang Pangeran maka tak mengherankan mengapa pemerintah kolonial Belanda gagal menghapus eksistensi sosok pemimpin Perang Jawa ini. Padahal pasca Perang Jawa berakhir, hingga lebih seratus tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda secara sistematis berusaha menghapus pengaruh Sang Pangeran dengan memberangus semua hal terkait eksistensi Pangeran Diponegoro hingga ke akar-akarnya. 

Memburu dan membunuh anak keturunan, kerabat hingga pengikut sang Pangeran. Bahkan nama Diponegoro sebagai gelar kebangsawanan dihapus dari Keraton Yogyakarta karena dianggap sebagai aib. Anak-anak keturunan Pangeran Diponegoro hingga masa-masa awal kemerdekaan masih terus menyembunyikan statusnya sebagai keturunan Pangeran Diponegoro karena takut diburu oleh Belanda. 

Namun bagaimanapun sejarah berusaha dihapus dan disembunyikan oleh sang pemenang, memori rakyat akan epos kepahlawanan Pangeran Diponegoro tetap tidak lekang dan terhapus dari ingatan kolektif bangsanya. Justru tidak lekangnya kepahlawanan Sang Pangeran dari ingatan bangsanya itu menunjukkan bahwa perang Jawa yang dipimpin Sang Pangeran adalah aspirasi rakyat yang sesungguhnya. 

Bahkan jauh setelah Perang Jawa usai dan Pangeran Diponegoro ditangkap hingga diasingkan dengan tipu daya, gelora dan semangat perlawanannya tetap hidup dalam wujud inspirasi dan simbol kepahlawanan yang menyatukan tujuan pergerakan nasional Indonesia hingga mencapai puncak kemerdekaan di tahun 1945. Dengan demikian Pangeran Diponegoro bukan hanya sosok pahlawan nasional yang dikenang secara romantik tetapi sosoknya benar-benar nyata menjadi figur yang menyatukan perjuangan nasional hingga pada akhirnya membuahkan hasil kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun