Mohon tunggu...
M. Nabiel Hakim
M. Nabiel Hakim Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik

Penulis Pemula :)

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Prahara Internal PDIP: Banteng vs Celeng

16 Desember 2021   23:35 Diperbarui: 17 Desember 2021   14:03 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banteng vs Celeng (Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway)

Jakarta. Fenomena politik jelang pagelaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau Pilpres adalah hal yang sangat lumrah. Adu gagasan, intrik politik, hingga lobi-lobi tingkat tinggi adalah contoh dari beberapa fenomena politik yang biasa terjadi dalam masyarakat Indonesia. Namun dalam konteks Pilpres 2024, nampaknya aroma persaingan antar tokoh yang ingin mencalonkan  dirinya mulai terendus. Aroma pertarungan politik antar tokoh makin panas tatkala beberapa lembaga survei mengeluarkan hasil surveinya terkait elektabilitas beberapa tokoh nasional, mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah.

Nama-nama yang bermunculan antara lain Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, hingga Puan Maharani. Berangkat dari hasil survei beberapa lembaga seperti SMRC, LSI Denny JA, Indikator Politik Indonesia, dan sebagainya, nampaknya mesin-mesin politik mulai "dipanaskan" untuk mendongkrak atau menjaga elektabilitas dari kandidat yang ingin diusung. Hal ini terbukti dengan banyaknya baliho-baliho yang terpasang, di mana isi dari baliho tersebut bukanlah iklan suatu produk melainkan berbentuk kampanye dari seorang tokoh politik. Contohnya adalah baliho Airlangga Hartarto, Puan Maharani, dan Muhaimin Iskandar.

Adapun salah satu kandidat yang tidak menggunakan baliho sebagai sarana pendongkrak elektabilitasnya adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sosok yang satu ini lebih memaksimalkan penggunaan media sosial ketimbang tebar baliho dimana-mana. Menariknya, sikap Ganjar tersebut direspon oleh Puan Maharani selaku salah satu kandidat calon presiden yang pada faktanya, elektabilitas Puan jauh dibawah Ganjar. Dikutip dari Tempo.com, Puan menyindir Ganjar dengan pernyataan bahwa pemimpin haruslah turun langsung ke lapangan, tidak hanya aktif di medsos saja. Pernyataan Puan ini disampaikan saat ia memberikan arahan kepada kader-kader PDIP pada 22 Mei 2021, di Kantor DPD PDIP Jawa Tengah.

Sindiran Puan terhadap Ganjar nampaknya tidak terbatas pada kompetisi politik semata, melainkan ada spekulasi bahwa di internal PDIP telah terjadi perpecahan terkait siapa figur yang akan diusung untuk Pilpres 2024 mendatang. Hal tersebut semakin meyakinkan, tatkala Ganjar Pranowo menyatakan bahwa dirinya tidak diundang dalam acara internal DPD PDIP Jawa Tengah saat itu. Keretakan ini memang nampak wajar, mengingat Puan Maharani adalah anak dari Ketua Umum PDIP yakni Megawati Soekarnoputri, yang tentu berambisi untuk maju menjadi presiden meneruskan perjuangan ibunya dan kakeknya. Berbeda dengan Ganjar yang merupakan kader partai biasa. Puan dihadapkan pada realita bahwa dirinya memiliki elektabilitas yang sangat kecil, sedangkan Ganjar diunggulkan karena elektabilitas dan popularitasnya termasuk yang tertinggi di nasional.

Konflik kedua figur ini merembet ke internal kader partai yang berlogo banteng tersebut. Massa pendukung Puan berprinsip bahwa kader partai harus mengikuti segala titah dari ketua umum berikut pimpinannya, sedangkan massa pendukung Ganjar berprinsip bahwa realitanya Ganjar lebih potensial untuk memenangkan kontestasi politik lima tahunan tersebut. Perpecahan ini akhirnya terafirmasi dengan munculnya fenomena banteng vs celeng. Banteng adalah sebutan bagi kader-kader PDIP yang setia terhadap apapun titah dari ketua umum, sedangkan kata celeng disematkan kepada mereka kader-kader PDIP yang dianggap membelot dan tak setia.  

Dikutip dari Detik.com, kronologi fenomena banteng vs celeng bermula saat Wakil Ketua DPC Kabupaten Purworejo Albertus Sumbogo dan beberapa pengurus mendeklarasikan diri siap mendukung Ganjar Pranowo maju Pilpres 2024. Merespon deklarasi tersebut, Bambang "pacul" Wuryanto selaku Ketua DPD PDIP Jawa Tengah menyatakan bahwa seluruh kader PDIP wajib mengikuti satu arahan dan aturan dari ketua umum. Menurutnya, siapa pun yang merasa menjadi bagian atau barisan PDIP, wajib hukumnya untuk tetap berada di barisan yang diperintah sesuai arahan ketua umum selaku pimpinan tertinggi.

Bambang menyebut oknum kader PDIP yang mendeklarasikan capres telah mendahului arahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Walhasil, kader-kader yang terlibat dianggap keluar dari barisan dan harus diberikan sanksi. Adapun istilah banteng vs celeng berangkat dari pernyataan Bambang "pacul" Wuryanto terkait adagium di internal PDIP. Menurutnya, kader yang keluar dari barisan bukanlah banteng, melainkan celeng.

"Adagium di PDIP itu yang di luar barisan bukan banteng, itu namanya celeng. Jadi alasan deklarasi apa pun itu, kalau di luar barisan ya tetap celeng namanya," tegasnya dikutip dari Detik.com.

Pernyataan tersebut direspon oleh Aloysius Jaka Saptana, selaku Sekjen Sahabat Ganjar. Ia menyatakan bahwa deklarasi di Purworejo adalah murni bentuk dukungan tanpa afiliasi parpol manapun. Bahkan Ganjar sendiri turut merespon isu banteng vs celeng, ia menegaskan dengan pernyataan "sekali banteng, tetaplah banteng." Fenomena ini makin panas tatkala DPC PDIP Kabupaten Kebumen mendeklarasikan dukungan terhadap Puan dalam Pilpres 2024 mendatang.

Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba menganalisis fenomena banteng vs celeng dari sisi komunikasi politik, tepatnya dalam bagian kampanye. Mengutip teori Charles U. Larson, fenomena banteng vs celeng antara Ganjar dan Puan dari sisi kampanye masuk dalam jenis candidat oriented campaign (political campaign), yaitu kampanye yang berorientasi pada kandidat dan umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk memperoleh kekuasaan politik. Jelas bahwa langkah Puan bersama timnya yang memasifkan penggunaan baliho di berbagai daerah adalah bertujuan untuk meingkatkan elektabilitas politik, di mana muaranya adalah kesuksesan Pilpres 2024 mendatang. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh Ganjar, bahwa pemaksimalan penggunaan media sosial sebagai pendongkrak elektabilitas adalah tak lain bertujuan politis.

Kemudian selain dari jenis kampanyenya, fenomena banteng vs celeng dapat pula dianalisis dari sasaran atau target kampanye. Pertama secara kognitif, langkah Puan yang menuliskan pesan "kepak sayap kebhinekaan" dalam baliho-baliho yang ia pasang bertujuan untuk memberikan pesan kepada masyarakat bahwa Puan adalah sosok yang menjunjung tinggi kebhinekaan, artinya secara kognitif diharapkan masyarakat paham bahwa Puan adalah pancasilais sejati dan figur yang cocok untuk memimpin Indonesia yang beragam ini. Sedangkan penggunaan media sosial ala Ganjar, secara kognitif ingin memberikan masyarakat pemahaman bahwa Ganjar adalah sosok yang gaul, humble, merakyat, berjiwa muda, dan interaktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun