"Apa kamu yakin mereka bisa berubah pikiran dan mau menerima kita?" balas Rizal.
"Aku berharap dengan kehadiran anak ini, mereka akan luluh hatinya. Apalagi ini adalah cucunya yang pertama", jawab Hasna mencoba meyakinkan suaminya.
"Hmmm...boleh dicoba. Sebaiknya kita tunggu anak ini berumur seminggu".
Hasna mengangguk dan tersenyum optimis. Ia kemudian membayangkan ibunya akan menggendong-gendong cucunya, tersenyum bangga dan mencium pipinya. Lalu ibunya memutuskan untuk mengadakan upacara aqiqah di rumahnya. Ia dan suami pindah dan tinggal di rumah orang tuanya.
Tujuh hari kemudian, si bayi badannya panas. Rencana hari itu untuk pergi ke rumah orang tua Hasna tertunda. Hasna meminta Rizal untuk pergi ke rumah temannya untuk meminta daun dadap untuk penurun panas. Tanpa menunggu, Rizal segera meluncur dengan sepeda motor untuk mencari obat buat anaknya.
Di rumah kontrakan, Hasna dengan telaten mengompres bayinya. Suhu badannya semakin meningkat. Si bayi menangis tanpa henti. Hasna semakin gusar. Apalagi suaminya sudah cukup lama belum kembali juga. "Lama sekali si Rizal", bisiknya lirih.
Sesaat kemudian, terdengar ada ketukan pintu. Hasna bergegas menuju pintu dan berharap sekali suaminya pulang.
"Benarkah ini rumah Ibu Hasna?" tanya seseorang dengan seragam polisi. Hasna terkejut, ada apa gerangan polisi sampai datang ke kontrakannya.
"I...iya, betul Pak. Silakan masuk!"
"Dengan berat hati saya kabarkan kepada ibu, bahwa suami ibu meninggal dunia karena kecelakaan. Saat ini mayatnya sedang berada di rumah sakit PKU", kata polisi itu dengan nada suara yang dibuat sehati-hati mungkin.
"Apa? Benarkah?" jerit Hasna berusaha meyakinkan diri dengan kabar yang barusan ia dengar. Si polisi hanya mengangguk iba.