Di novel ini diselingi pula kisah percintaan antara Nuryasmin dan Basah Katib, yang pada puncaknya Basah Katib difitnah telah mengkhianati Nuryasmin sebagai tertulis dalam buku catatan harian yang dipalsukan oleh Cao Wan Jie. Kisah cinta lainnya adalah antara Basah Nurkandam dengan Siti Fatmasari, putri Patih Danurejo IV yang berpihak kepada Belanda.
Perlawanan Diponegoro berakhir ketika ia bertemu dengan Jenderal de Cock di Magelang untuk melakukan perundingan. Hal ini hanyalah siasat licik Belanda untuk dapat menangkap Diponegoro dengan mudah dan tanpa perlawanan yang berarti.Â
Diponegoro sangat marah dengan pengkhiatan yang disengaja ini, sehingga lengan kursi yang ia pegang menjadi remuk. Bisa saja waktu itu ia membunuh de Cock, tapi ia segera sadar, kelak ia tak mau disebut sebagai seorang pengecut yang membunuh seseorang di meja perundingan.
Akhir kata, perjuangan Pangeran Diponegoro bukan semata ingin mengusir penjajah, tapi merupakan jihad dalam arti yang sebenarnya. Jihad melawan ketidakadilan, kezaliman, dan keserakahan. Jihad tidak hanya kepada kafir Belanda, tapi juga kafir murtad (orang Islam yang berpihak kepada Belanda). Jihad dalam menegakkan agama Islam sebagai rahmatal lil 'alamin. Tidaklah mengherankan, para laskar dan pengikut Diponegoro banyak yang berasal dari para kiai dan kaum santri. Â Â
Peresensi: Trimanto B. NgaderiÂ
Informasi buku:
Judul      : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Pengarang   : Salim A. Fillah
Penerbit    : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun Terbit     : 2019
Jumlah hal  : 632