Resensi Novel "Sang Pangeran dan Janissary Terakhir" Â Â
Inggih kula dutaneki, mboten wonten Narendraji,Â
ingkang ngluhuraken agamanya, kadosta Jeng Sultan Ngabdul Kamit;
Sungguh saya hanya utusan, tiada raja yang memuliakan agamanya,
seperti yang dilakukan Sultan Abdul Hamid Diponegoro.
(Kiai Mojo, 1828 M)
(sumber gambar: foto pribadi)
Novel berlatar belakang sejarah ini mengisahkan peristiwa Perang Jawa dalam kurun waktu 1825-1830 M, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan penguasa kolonial Belanda. Perang ini tercatat sebagai perang terbesar yang pernah dialami Belanda di tanah jajahan.Â
Perang yang telah menelan begitu banyak korban jiwa di kedua pihak, termasuk menelan biaya yang cukup besar. Akhir dari perang yang melelahkan ini adalah ditangkapnya Sang Pangeran oleh Jenderal De Cock pada saat perundingan di Magelang.
Novel yang cukup tebal ini (226 hal) ini ditulis berdasarkan per peristiwa. Setiap bab selalu dituliskan lokasi dan tanggal peristiwa. Walau diceritakan secara per peristiwa, tapi alur yang digunakan tidak selalu maju (kronologis), beberapa bagian berisi flashback.
Dengan membaca novel ini, kita menjadi tahu secara lebih mendalam mengenai kehidupan bangsawan yang merupakan putera dari Sri Sultan Hamengkubuwono III ini pada khususnya, dan kehidupan keraton Mataram Yogyakarta pada umumnya. Tapi sayang, tidak sedikit pihak keraton yang justeru berpihak kepada Belanda, sehingga Pangeran Diponegoro berperang melawan kaum kerabatnya sendiri.
Di saat itu, ada beberapa orang pelarian dari Dinasti Turki Utsmani yang datang ke Mataram. Dua orang putera Wazir Agung Mustafa Pasha, seorang juru tulis, dan beberapa pengikut lainnya. Wajar saja jika di dalam novel ini juga mengisahkan peristiwa yang terjadi di Istambul waktu itu.
Mereka bergabung dengan pasukan Diponegoro. Sehingga hierarki militer mengikuti hierarki yang ada di Turki, seperti pangkat Pasha (Basah) Ali Pasha (Alibasah), termasuk nama-nama kesatuan pasukan.Â
Para pelarian itulah para Janissary terakhir, karena Janissary di Turki sendiri telah dihapuskan. Sementara Dinasti Turki Utsmani sendiri sudah diambang kehancuran. Mereka berharap, Janissary bisa berkembang di Nusantara dan masa depan peradaban Islam bisa diteruskan di sini.
Pada awal masa perang, pasukan Diponegoro mengalami kemenangan demi kemenangan dengan gemilang. Pihak Belanda mengalami kerugian besar berupa banyaknya tentara yang tewas, ditambah membengkaknya anggaran perang.Â
Akan tetapi, secara perlahan pada akhirnya Diponegoro mengalami kekalahan. Beberapa pembantu utamanya menyerah atau justru memihak di kubu lawan (contohnya: Kiai Mojo dan Sentot Alibasah Prawirodirjo). Faktor lainnya adalah politik benteng Stelsel yang membatasi ruang gerak Diponegoro dalam bergerilya.