Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Corporate Mindset, Mental Seorang Pendamping Sosial

31 Oktober 2018   09:57 Diperbarui: 31 Oktober 2018   10:28 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dan lain-lain

Mental Birokrat Mindset

Seorang Pendamping Sosial bukanlah seorang "penjaga warung", yang duduk manis menunggu pembeli datang. Bersifat pasif, hanya menunggu. Jika tidak ada pembeli ya tidak melayani. Buka tokonya pun dibatasi waktu, jika toko sudah tutup maka pembeli tidak dapat membeli barang (terpenuhi kebutuhannya).

Oleh karena itu, jika seorang Pendamping Sosial lebih banyak berada di kantor, lalu apa yang mau dikerjakan. Melakukan pekerjaan administrasi bisa kapan saja dan di mana saja. Menyuruh dampingan datang ke kantor jika ada masalah atau keperluan tentu bukanlah hal bijak. Apalagi jika dampingan kita rumahnya jauh di pelosok, tidak punya kendaraan, sudah terlalu tua, dan berbagai kendala lainnya.

Bermental birokrat mindset membuat Pendamping Sosial terikat waktu dan tempat. Jam 8-16 adalah waktu bekerja dan melayani, di luar itu dianggap jam pribadi atau keluarga. Sehingga di luar jam kerja, ia tidak mau bekerja atau melayani. Sedangkan terikat tempat adalah terikat oleh meja kantor. Di luar kantor ia menolak untuk melayani. Jika tidak di kantor, pekerjaan tidak dieksekusi.

Yang lebih parah lagi dari bermental birokrat mindset adalah ia tak mau bekerja jika tidak ada anggarannya. Ia sering menolak jika diberi tambahan pekerjaan, diberi tugas lain, atau pekerjaan yang dianggap bukan tugasnya. Ia baru mau bergerak jika diiming-imingi honor, bonus, fasilitas, hadiah dll.

Padahal, namanya saja Pendamping Sosial, ya tentunya jiwa sosialnya yang lebih menonjol. Bekerja tanpa pamrih, bekerja ikhlas, dan bekerja demi misi sosial (kemanusiaan). Ciri-cirinya adalah suka membantu, ringan tangan, simpati-empati, peka, dan gesit. Dalam tataran spiritual, ia bekerja untuk masa depan yang lebih panjang (akhirat). Ia tidak hanya mengejar kefanaan (gaji, uang, fasilitas), tapi juga meraih kebakaan (pahala dan ridha dari Tuhan).

So, Enjoy It

Kembali ke soal pekerja lapangan tadi. Anggap saja kita tiap hari melakukan wisata, jalan-jalan. Masuk ke desa-desa, keliling kampung-kampung. Melihat pemandangan asri, menemukan suasana baru. Mengetahui situasi dan kondisi riil di lapangan. Termasuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.

Sikap proaktif amat diperlukan. Yach....anggap saja seperti seorang member MLM yang sedang melakukan prospek member baru. Mesti sering jemput bola, mendatangi, dan melayani. Banyak-banyak silaturrahmi gitu deh, sehingga banyak kenalan, banyak saudara baru. Konsekuensinya tentu akan banyak rejeki juga to.

Biar pun kendala juga banyak. Panas matahari yang menyengat, basah kuyub jika musim hujan, jalanan yang rusak (parah), kondisi medan yang naik-turun, belum lagi perihal keamanan terutama jika saat malam hari. Tapi semua itu tak membuat hati menjadi sedih, putus asa, atau malas. Diusahakan untuk selalu semangat, gigih, dan ikhlas tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun