Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pilpres dan "Budaya Hoaks"

17 Oktober 2018   09:40 Diperbarui: 17 Oktober 2018   10:05 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih khusus yang terjadi di Whatsapp. Beragam hoax (berita bohong) amat mudah beredar di media yang satu ini. Setiap saat kita menerima hoax baik di ruang grup maupun lewat jaringan pribadi. Hoax di sini bisa berupa tulisan seperti opini, esai, artikel, maupun berita. Juga bisa dalam bentuk gambar atau video. 

Tulisan biasanya tanpa disertai nama penulisnya (anonim), atau jika disertakan nama penulisnya, biasanya nama penulis masih terasa asing atau belum pernah kita kenal.

Anehnya, sebagian besar dari kita percaya begitu saja terhadap semua hoax yang beredar tadi, tanpa melakukan pengecekan atau klarifikasi terlebih dahulu. Parahnya lagi, tanpa berpikir panjang, kita pun segera menyebarluaskan ulang hoax tersebut ke berbagai tempat (tujuan) sebanyak mungkin. Apalagi di akhir tulisan, berbunyi "SEBARKAN!!!".

Siklus yang terjadi adalah kita menikmati hoax senikmat meminum kopi, lalu menyebarkan ulang, menikmati hoax lagi, dan kemudian menyebarkannya lagi. Menikmati dan menyebarkan hoax akhirnya menjadi budaya keseharian kita, bahkan menjadi gaya hidup. 

Kita menikmatinya,benar-benar menikmati. Lebih dari itu, kita merasa bangga dan puas karena telah menyebarkan kebenaran, melakukan perjuangan, menegakkan keadilan, dan melawan kezaliman.

Anehnya lagi, penikmatan dan penyebaran hoax tidak hanya dilakukan oleh orang awam atau orang yang berpendidikan rendah. Penyebaran berita bohong dilakukan pula oleh para kaum intelektual, orang terdidik, maupun kaum agamawan. 

Sehingga bagi orang awam sendiri, ketika yang menyebarkan berita itu adalah orang terdidik atau dari kalangan pemimpin agama, mereka meyakini dengan sepenuhnya bahwa berita itu adalah benar adanya.

Dengan demikian, kegiatan menikmati dan menyebarkan hoax telah menjadi budaya keseharian kita, terlebih di masa menjelang Pilpres seperti sekarang ini. Budaya yang telah menguras perhatian, energi, dan waktu kita. 

Kita telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan kontraproduktif, hingga pekerjaan utama kita menjadi terbengkalai dan terabaikan. Kita bukannya membangun budaya yang baik dan positif, melainkan budaya yang destruktif.

Kegiatan penyebaran berita bohong tidaklah membawa manfaat apapun, kecuali kerusakan dan kemudharatan. Hoax memberikan peluang terjadinya perpecahan bangsa, konflik sosial, disintegrasi, tindakan kriminal, hingga gerakan revolusi. 

Hoax lebih banyak berisikan kampanye hitam, propaganda, isu negatif, dan kabar angin yang dapat meracuni pikiran dan menyesatkan. Hal ini akan memicu kebencian, amarah, dan tindakan angkara murka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun