SUNAN KALIJAGA, JUGA SEORANG PENYULUH PERTANIAN
Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Sunan Kalijaga yang punya nama kecil Raden Mas Sahid adalah putera Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban ke-8. Sunan yang cukup terkenal dan lebih populer dibanding delapan Walisanga lainnya. Ia terkenal karena mampu mengislamkan sebagian besar penduduk Pulau Jawa, sebagai penasihat Kerajaan Demak, arsitek Masjid Agung Demak, dan tentu saja karena beberapa kesaktian yang dimilikinya.
Sekalipun anak seorang adipati, pada masa mudanya, Sunan Kalijaga adalah seorang pemuda berandalan, tidak betah tinggal di istana, serta terkenal sebagai perampok. Ketika itu ia memiliki nama Lokajaya. Sifat buruknya ini berhenti, ketika ia bertemu dengan Sunan Bonang dan akhirnya menjadi muridnya.
Setelah lama berguru kepada Sunan Bonang, ia menjadi orang baik-baik, bahkan menjadi guru agama dan sangat aktif menyebarkan agama Islam ke pelosok Pulau Jawa, terutama kepada rakyat jelata. Ciri khas dakwah beliau adalah dakwah bil hikmah atau dakwah dengan pendekatan budaya, kalau sekarang bisa disebut sebagai dakwah dengan komunikasi persuasif. Ia mengislamkan orang Jawa tanpa menghilangkan adat-istiadat dan budaya masyarakat, hanya saja dalam beberapa hal dimasuki nilai-nilai keislaman.
Sisi Lain Sunan Kalijaga
Sunan Bonang bersedia menjadi guru Sunan Kalijaga dengan satu syarat Sunan Kalijaga sanggup menjaga tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan di tepi sungai di kawasan hutan Jatipeteng (di daerah jalan raya Lasem -- Tuban) selama tiga tahun. Menurut cerita, Sunan Kalijaga bertapa di pinggir kali itu dalam jangka waktu lama, sehingga badannya kotor dan berlumut.Â
Tentu cerita ini tidak bisa diterima secara mentah begitu saja. Menurut cerita yang lebih bisa dipercaya, Sunan Kalijaga tidak terus-menerus melakukan semadi, tapi juga hidup berbaur dengan masyarakat sekitar. Ia belajar kepada para nelayan bagaimana cara menangkat ikan di laut.Â
Ia juga belajar kepada para petani, bagaimana mengolah lahan dan bercocok tanam. Hal ini kelak akan menjadi bekal yang amat berharga ketika ia telah menjadi seorang wali dan menjadi panutan masyarakat, tidak hanya dalam bidang agama, tapi juga dalam bidang budaya dan pertanian.
Tiga tahun pun berlalu, Sunan Bonang pun mengetahui bahwa Sunan Kalijaga sanggup menjaga tongkatnya dengan baik. Bahkan Sunan Bonang amat terkejut, ketika menyaksikan di sekitar tempat tinggal Sunan Kalijaga yang dulunya berupa hutan lebat, kini telah berubah menjadi lahan pertanian yang amat subur dan ditanami berbagai jenis tanaman dan tumbuhan yang bermanfaat.
Menjelang akhir hayatnya, Sunan Kalijaga menetap di daerah Kadilangu, Demak. Ia pun mengajari penduduk setempat bagaimana cara bertani yang baik dan benar. Ketika sebelumnya penduduk hanya mengenal alat pengolah lahan bernama "gejug", semacam linggis untuk mengolah sawah. alat itu oleh Sunan Kalijaga dianggap kurang efektif dan efisien. Maka beliau memperkenalkan alat baru bernama luku (bajak) dan pacul (cangkul).
Alat baru yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga ini bukan sekedar alat fisik semata, tapi juga mengandung filosofi kehidupan yang amat tinggi. Dari segi bentuk, nama, bahan yang dipakai, semua memiliki nilai-nilai ajaran filsafat yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Memang, wali yang satu ini amat menyukai hal-hal yang bersifat simbolik. Insya Allah pada tulisan berikutnya, akan saya jelaskan mengenai filosofi bajak dan cangkul menurut Sunan Kalijaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H