Bandingkan dengan karakter Bani Israil (Al Baqarah: 67-71), ketika mereka mendapat perintah Allah swt untuk menyembelih sapi. Mereka selalu mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas atau sesuatu yang tidak penting. Misalnya bertanya tentang hal ihwal sapi, umur, warna dan seterusnya.
Termasuk pula saat mereka diperintah untuk berperang pada masa Nabi Daud as, mempertanyakan mengapa harus keluar dari Mesir ketika bersama Musa as dan saat memasuki gerbang kota Yerusalem, serta ketika mendapat wejangan dari nabi terakhir mereka, Isa ibn Maryam.
Secara umum, Bani Israil melandasi cara berpikirnya semata-mata untuk mengingkari. Sebenarnya mereka tidak bertanya, tapi mempertanyakan. Mereka tidak berorientasi memperoleh kejelasan apalagi kebenaran. Sama sekali tidak. Aktivitas berpikir mereka banyak didominasi oleh pembangkangan dan kesombongan.
Demikian halnya yang terjadi pada sidang wakil rakyat kita yang lebih banyak diwarnai sikap mempertanyakan sehingga menimbulkan perdebatan tak berujung, dan bahkan tidak jarang hingga terjadi tindak kekerasan. Mereka lebih banyak bicara untuk menyampaikan ide, berteori, atau sekedar ingin menunjukkan kemampuan intelektualitasnya; bukan untuk mencari solusi terbaik atas permasalahan di negeri ini, alih-alih berbuat sesuatu yang nyata untuk rakyat.
Juga di kalangan mahasiswa Islam pada khususnya, tidak sedikit yang suka memperdebatkan hal-hal yang sudah jelas dan baku, mempermasalahkan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan dan konsensi umum, atau hanya ingin sekedar dianggap cerdas dan kritis. Lebih dari itu, mereka sampai berani mempertanyakan atau mengotak-atik hukum-hukum Allah sesuai nalar dan logika mereka.
Allah pun Bertanya
Perbuatan bertanya tidak hanya dilakukan oleh manusia saja. Allah swt pun dalam firman-firmanNya sebagian berupa kalimat tanya. Seperti "afala ta'qilun", "afala yatadabbarun", "afala tatafakkarun", yang berarti, apakah kalian tak memakai akal?, apakah kalian tak menelaah?, apakah kalian tak berpikir? Pertanyaan dalam ayat-ayat ini bermakna sebagai himbauan atau anjuran untuk terus-menerus belajar, salah satunya lewat kebiasaan bertanya.
Pada ayat lainnya, "fabiayyi alaa irabbikumaa tukadz-dzibaan", yang berarti nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Adalah sebuah peneguhan atau penegasan bahwa seharusnya seseorang selalu mensyukuri nikmat yang telah diterimanya; termasuk diberi nikmat berupa akal untuk berpikir dan belajar.
Di sisi lain, Allah melarang kita untuk berdebat sesuatu yang tidak membawa maslahat, apalagi perdebatan itu ditujukan untuk menentang Allah dan RasulNya (An Nisa': 107, 109). Termasuk debat yang bisa menimbulkan perpecahan, permusuhan, dan kebencian.
Akhirnya, marilah kita mengembangkan budaya bertanya, bukan mempertanyakan. Â Sebuah budaya yang akan menjawab segala rasa keingintahuan kita, memacu kita untuk terus belajar dan berpikir, melatih kecerdasan, dan mengasah daya intelektualitas kita.Â
Dan yang terpenting dari semua itu adalah dapat menuntun akal dan jiwa kita untuk menemukan kebenaran sejati. Wallahu a'lam bish-shawab.