Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berguru kepada Murid

3 Mei 2018   19:46 Diperbarui: 3 Mei 2018   20:25 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah merupakan kelaziman jika seorang murid belajar kepada gurunya, seorang mahasiswa belajar kepada dosennya, atau seorang santri belajar kepada ustadznya. Pada intinya, orang yang belum tahu belajar kepada yang lebih tahu, orang yang bodoh belajar kepada yang lebih pintar, atau orang yang belum berilmu belajar kepada mereka yang sudah berilmu.

Tapi, benarkah hanya seorang murid yang harus belajar kepada gurunya, atau seorang santri harus belajar kepada ustadznya? Apakah seorang murid akan selamanya menjadi murid, dan sebaliknya, apakah seorang guru akan selamanya menjadi guru?

Siklus Pembelajaran

Beberapa ungkapan seperti uthlubul 'ilmi minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah ilmu sejak dari kandungan hingga liang lahat),  uthlubul 'ilmi walau bish-shin (tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina), atau perintah thalabul ilmi faridhatun 'ala kulli muslimin wal muslimat (menuntut ilmu adalah wajib bagi Muslim lelaki dan perempuan).

Ungkapan atau perintah tersebut patut kita renungkan bersama. Sebab masih banyak umat Islam atau bangsa Indonesia pada umumnya yang belum bisa memahaminya secara benar dan tepat. Sebagian besar dari kita masih memahami bahwa belajar hanya di sekolah, kampus, pesantren, atau lembaga pendidikan formal lainnya. Atau belajar hanya saat usia muda saja.

Padahal hakikat hidup adalah belajar itu sendiri. Belajar dimulai sejak orang terlahir ke dunia hingga ia meninggalkan dunia ini. Belajar bisa kepada siapa saja dan kapan saja. Belajar tidak harus di sekolah atau di kampus, atau belajar tidak harus kepada seorang guru atau dosen. Kita bisa belajar kepada pedagang di pasar, belajar kepada tukang ojek, bahkan kita bisa belajar kepada seorang anak kecil sekalipun. 

Tidak saja kepada manusia, kita bisa belajar kepada semut, belajar kepada lebah; bahkan alam semesta yang terbentang ini adalah media kita belajar dan berpikir. Sebagaimana sering disebut dalam Al Qur'an yaitu afala yatafakkarun-afala ya'qilun. Dan secara spiritual, Allah swt adalah "guru" kita.

Pada awalnya seseorang berstatus murid. Tapi tidak selamanya ia menjadi murid. Suatu saat ia bisa beralih menjadi guru. Demikian halnya, seorang guru tidak selamanya akan menjadi guru. Pada saat yang sama, ia bisa menjadi murid orang lain. 

Bahkan, suatu ketika ia bisa menjadi murid dari muridnya yang terdahulu. Sebab, bisa jadi murid yang dulu dididiknya sekarang telah memiliki pengetahuan yang lebih tinggi. Berguru kepada murid. Inilah yang disebut sebagai siklus pembelajaran (learning cycle).

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang hubungan antara mengajar dan belajar. Beliau juga memberikan contoh kepada kita bahwa sekat antara guru dan murid sangatlah tipis. 

Sebagaimana QS Ali Imran: 79, dalam diri seorang Muslim menyatu posisi seorang guru dan murid sekaligus, sehingga ia selalu berproses untuk mengajar dan belajar. Hal inilah yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat-sahabatnya.

Menjadi Manusia Pembelajar

Alangkah naifnya seseorang, jika setelah ia lulus sekolah atau selesai wisuda, maka selesai pula belajarnya. Alangkah sombongnya seorang guru atau dosen yang merasa ilmunya telah banyak dan tak perlu lagi belajar kepada orang lain. 

Dan alangkah lebih malu lagi jika kita yang masih muda dan diberi kecukupan materi malah tidak mau belajar dibanding mereka yang sudah tua tapi masih punya semangat tinggi dalam belajar, atau mereka yang miskin tapi memiliki motivasi yang kuat untuk menuntut ilmu. Padahal, Musa as, seorang nabi pun masih perlu belajar dan mencari seorang guru bernama Khidir.

Selagi kita masih bisa bernapas, maka ketika itu pula kita harus punya kemauan untuk terus-menerus belajar. Kata-kata "iqra" pada awal surat Al 'Alaq merupakan perintah Allah swt yang secara implisit menyuruh kita agar selalu membaca dan belajar. 

Kata iqra sendiri memiliki dua makna, pertama, iqra terhadap ayat qauliyah, yaitu terus-menerus mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah demikian luas kandungan maknanya; sehingga semakin digali semakin banyak yang dapat diraih, walaupun teks yang dibaca sama. Kedua, iqra' terhadap ayat kauniyah, mempelajari alam semesta ini (termasuk di dalamnya mempelajari manusia itu sendiri). 

Sebab alam yang terbentang luas, rahasianya tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat selalu ditemukan hal-hal baru.

Menjadi manusia pembelajar tidaklah berarti kita hanya terus-menerus belajar, tapi berbarengan dengan itu, kita juga harus mau mengajarkan apa-apa yang telah kita peroleh kepada orang lain. 

Kesadaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap Muslim pembelajar, karena pada hakikatnya setiap Muslim adalah seorang guru. Hasan al Banna ketika membahas tentang proyek membangun peradaban menyebutkan bahwa cita-cita tertinggi yang harus diraih adalah menjadi ustadziyatul 'alam (guru bagi alam semesta). Saatnya memberi (mengajar), tidak hanya menerima (belajar).

Sementara itu, menjadi guru tidak harus bersertifikasi, tidak pula harus menunggu datangnya Surat Keputusan (SK) tertentu; tidak harus ada sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai murid; tidak pula menunggu berdirinya suatu bangunan yang bernama sekolah. Sebab, semua tempat yang kita datangi pada hakikatnya adalah "sekolah". Semangat untuk menjadi guru tidak pula dibelenggu oleh kurikulum formal.

Guru yang diidamkan Muslim pembelajar adalah guru inspiratif. Guru yang memberikan ilmunya pada siapapun atas dorongan iman; yaitu guru yang bisa menggerakkan dan menginspirasi, bisa memantik kreativitas (creative thinking), dan mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut yang beragam (Dwi Budiyanto; 2009: 222).

Penutup

Sebagai orang yang beriman, kita diwajibkan untuk belajar dan mengajar. Jika Islam ingin tetap tegak di muka bumi ini, maka para pengikutnya harus menjadi Muslim pembelajar. 

Demikian halnya, jika sebuah negara ingin maju dan jaya, maka rakyatnya pun harus memiliki semangat untuk meraih pengetahuan dan memajukan pendidikan, dengan catatan tidak melupakan aspek ruhani. Inilah konsep yang diajarkan oleh Rasulullah saw sebagai prophetic learning. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun