Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Akar Korupsi Berasal dari Pendidikan Keluarga

18 April 2018   21:12 Diperbarui: 18 April 2018   21:25 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Memiliki perilaku korup bukanlah hal yang mendadak. Mempunyai mental korup bukan pula sesuatu yang tiba-tiba. Ia adalah mata rangkaian dari sebuah proses yang amat panjang, yang berhubungan satu dengan lainnya. Masa sekarang adalah buah dari masa lalu. Perbuatan yang dilakukan saat ini adalah hasil dari kumpulan perbuatan di masa lampau.

Korupsi tidak semata terkait dengan adanya peluang atau kesempatan. Karena biar pun peluang banyak, namun jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka peluang itu tidak bakal ia gunakan. Biar pun kesempatan terbuka lebar, jika ia memiliki akhlak yang luhur, maka kesempatan itu akan ia lewatkan.

Ketika kita tidak mau memanfaatkan peluang dan kesempatan emas itu, muncullah ungkapan: "Jika di hadapan kita ada minuman madu, susu, atau es buah. Akankah kita hanya memilih untuk minum air putih saja". Atau ungkapan lainnya, "Jika kita tinggal di lumbung padi, akankah kita malah mati kelaparan". Itu hanya sebuah sindiran atau ejekan bagi orang yang tidak mau melakukan korupsi.

Selain faktor peluang atau kesempatan, perilaku korupsi juga bisa dipicu oleh faktor godaan (bisikan setan). Mungkin saja seorang sebelum menjabat tertentu, dulunya adalah orang yang bersih dan terpercaya. Bisa jadi sebelum menempati posisi tertentu, seseorang itu dahulunya adalah orang yang jujur dan amanah.

Bisa pula ketika dulu masih menjadi mahasiswa, ia sering melakukan demo antikorupsi. Tapi ketika telah memiliki jabatan atau kedudukan, segalanya menjadi berubah, bahkan berbalik 180 derajat.

Godaan terkadang datang secara tiba-tiba, tanpa diduga, tanpa diminta, tanpa diharap. Ia membisiki telinga dan hati manusia. Berbisik dan terus berbisik.

Bisikan seperti nanti cepat kaya lho, bisa punya ini dan itu, hidup dalam kemewahan, istri akan senang, dan seterusnya. Lalu terjadilah perang batin antara hawa nafsu dengan nurani suci. Jika perang agung ini dimenangkan oleh hawa nafsu, berbuat korupsilah keputusannya.

Bermula dari Pendidikan Keluarga

Akar dari perilaku korup bersumber dari pendidikan keluarga. Cikal-bakal perbuatan korup sudah ada sejak kecil. Bibit-bibit korupsi telah ada semenjak dari rumah. Mungkin banyak yang belum (tidak) percaya tentang hal ini, karena sebagian besar dari kita memang tidak menyadari, atau malah sengaja tidak mau tahu.

Bermula dari keluarga bukan berarti si anak sudah terbiasa mencuri uang orang tuanya.Tapi bisa jadi bermula dari hal-hal kecil dan remeh, yang oleh orang tua sering dianggap hal biasa dan tak memiliki dampak (jangka panjang). Hal-hal kecil dan remeh itu di antaranya:

Menyuruh anak belanja ke warung

Tanpa sepengetahuan orang tua, selain belanja barang yang dipesan orang tua, diam-diam ia membeli jajanan atau yang lainnya dan tidak melapor atau memberi tahu. Apalagi bagi orang tua yang hanya sekedar menyuruh dan menerima barang belanjaan, tanpa menanyakan habis berapa dan sisa berapa, atau menanyakan secara rinci harga per barang. Selain itu, kebiasaan orang tua yang sering (selalu) memberi upah kepada anaknya ketika menyuruhnya belanja ke warung.

Membayar Uang Sekolah

Sebagian orang tua tidak mau melakukan kroscek ke pihak sekolah terkait pembayaran sekolah anaknya. Apakah benar ada pembayaran ini dan itu, apakah benar besaran uang segitu dan segitu. Biasanya jika ada pembayaran, pihak sekolah memberikan surat pemberitahuan kepada orang tua.

Nah, terkadang orang tua juga malas membaca. Intinya, jika si anak meminta untuk pembayaran ini dan sebesar ini, orang tua langsung memberikannya. Padahal yang sebenarnya,  nilainya tak sebesar itu, bahkan tidak ada pembayaran apapun (fiktif belaka). Di sinilah, anak sudah belajar (terbiasa) melakukan markup, manipulasi, rekayasa.

Terlalu Memanjakan Anak

"Kerja capek-capek buat siapa lagi kalau bukan buat anak". Ungkapan seperti ini yang sering dijadikan dalih untuk memanjakan anak. Segala yang diinginkan anak selalu dipenuhi, segala yang disenangi anak mesti dituruti, segala yang dimaui anak segera ditunaikan. Hal itu dianggap sebagai bukti (tanda) sayang kepada anak.

Orang tua tak lagi mempertimbangkan dampak, proporsi, timing, usia, kondisi dll. Ini jelas tindakan yang keliru. Hal itu akan membuat si anak menganggap bahwa hidup itu selalu enak, serba mudah, serba ada, tak perlu usaha, tak butuh perjuangan.

Tidak Melatih Kemandirian

Ini masih ada hubungannya dengan perihal terlalu memanjakan anak. Biasanya anak yang terlalu dimanjakan juga tidak bisa mandiri. Anak cenderung mau enaknya saja, menjadi malas, tidak bisa apa-apa, dependen. Anak tidak dilatih untuk bisa mengurus dirinya sendiri.

Anak tidak diajari melakukan pekerjaan tertentu. Tahunya hanya meminta, menyuruh, dan menikmati. Ketika ia menjadi pejabat, ia cenderung tidak kreatif, ingin hidup senang dan mewah tanpa perjuangan, ingin mendapatkan uang banyak tanpa usaha dan kerja keras.

Pengaruh Budaya Setempat

Selain pendidikan orang tua, budaya masyarakat juga sangat menentukan perilaku korupsi. Menyuruh orang lain dengan memberi uang sogok, meminta tolong aparat desa dengan memberi sejumlah imbalan tertentu, mengurus administrasi tertentu dengan memberi suap.

Ketika hal ini sering  dipraktekkan di dalam masyarakat, maka hal ini dianggap hal yang biasa dan sesuatu yang wajar. Akhirnya menjadi kebiasan, dan kebiasaan akan menjadi budaya, dan budaya akan menjadi karakter.

Ah, teman-teman kerja sudah biasa kok menyelundupkan semen (bagi pekerja bangunan). Alah, sudah biasa kok menilep uang bantuan (bagi pekerja sosial). Ahh, sudah wajarlah agar urusannya lancar ngasih uang pelicin. Alahh, lumrah to kita kasih amplop ke calon pemilih agar kita menang, dan seterusnya, dan seterusnya masih banyak lagi.

Lha semua yang bekerja di sini korupsi, masak aku tidak sendiri. Lha kebanyakan orang sini sudah biasa dapat uang suap, mosok aku akan menolak. Lha orang-orang pada buat nota fiktif, masak sih aku nggak ikutan juga. Dan berbagai alasan lainnya.

Kalau semua sudah seperti itu, bagaimana korupsi akan bisa diberantas.

Penutup

Kalau ingin benar-benar memberantas korupsi, jangan hanya memotong ranting dan dahan saja, tapi cabutlah pohon hingga ke akar-akarnya.

Salam antikorupsi.... say no to corrupt!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun