Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PKH, Memberi Suara pada yang Bisu

29 September 2017   10:28 Diperbarui: 29 September 2017   10:56 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Lazimnya, orang miskin selalu dipinggirkan, orang melarat selalu dimarjinalkan. Keberadaannya sering tak dihiraukan, antara ada dan tiada. Bahkan, lebih sering dianggap tidak ada. Nyaris ada yang mau melihat mereka, mendengar mereka.

Laksana pasir di padang gurun, suara mereka tak pernah ada yang mau mendengar. Pendapat mereka tidak ada yang mau menggubris. Perannya hampir tak ada yang menghargai. Jasa atau kebaikannya tak ada pula yang mau menyebut.

Itulah setidaknya yang dialami sebagian dari keluarga PKH.

Menjadi miskin memang tidak enak, menjadi melarat seringnya menyakitkan. Karena, kebanyakan manusia cenderung menilai seseorang dari kulit, sisi luar, segala yang kasat mata. Manusia baru akan menghormat jika seseorang memiliki jabatan tertentu, kekayaan dan kemewahan, gelar atau atribut khusus. Tak jarang mereka memperlakukan orang-orang tersebut secara berlebihan.

Perlakuan Manusiawi

Dalam setiap Pertemuan Kelompok (PK), aku mengamati wajah-wajah ceria nan berseri. Ada semangat baru. Ada kebahagiaan yang terpancar. Juga tergurat rasa percaya diri.

Ya, di PK inilah mereka seakan menemukan hidup yang baru, menemukan jatidiri, juga menemukan diri mereka yang sesungguhnya. Mereka mendapat perlakukan yang layak dan patut. Mereka dihargai, dianggap setara. Intinya mereka merasa di"manusia" kan sebagai manusia.

Lewat obrolan dan diskusi yang demokratis (diselingi humor-humor segar), mereka merasa suaranya didengar, pendapatnya mendapatkan saluran, keluh-kesahnya tersampaikan secara bebas, uneg-unegnya terekspresikan dengan leluasa; bahkan sesekali mereka pun melontarkan ide dan gagasan yang terkadang kita tak sempat menjangkaunya.

Sebelumnya, mereka takut untuk bicara, rikuh untuk berpendapat, apalagi menyampaikan ide atau protes. Termasuk ketika mereka dicurangi atau dibohongi oleh aparat pemerintah terkait urusan birokratif atau kelengkapan administrasi; mereka hanya diam, pasrah, dan mengalah. Sekalipun mereka telah mengeluarkan sejumlah uang tertentu, sementara suratnya tak kunjung diurus.

Melalui teknik Family Development Session (FDS), mereka dipersilakan untuk ngudo-roso. Menyampaikan permasalahan-permasalahan hidup, penderitaan, kepahitan, kegetiran, kepedihan; di sisi lain juga kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan, kepuasan. Ada guratan-guratan kelegaan karena segala pelik-rumit bertani, mengurus keluarga, kebutuhan sekolah, kerukunan bertetangga mendapatkan tempat untuk sekedar curhat, bercerita tanpa tekanan, bicara dengan penuh kemerdekaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun