Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Hidup di kota tidaklah mudah. Semuanya perlu biaya. Mulai dari tempat tinggal (jika masih sewa), makan-minum, transportasi, membayar cicilan, pungutan resmi dan pungutan liar, dan seabrek biaya lainnya. Semuanya mesti pakai uang, segalanya mesti membeli. Tidak ada pertolongan yang gratis, tidak ada jasa yang tak berbiaya. Sampai-sampai sebagian orang membayangkan lebih enak tinggal di desa.
Pada kenyataannya, tinggal dan hidup di desa tidaklah selamanya enak dan ringan. Pada sebagian desa (terutama di Pulau Jawa), hidup bisa dikatakan merepotkan dan memberatkan. Apa pasal, hidup di desa ternyata juga membutuhkan biaya yang amat banyak, terutama yang terkait dengan hubungan kekeluargaan dan kerukunan bermasyarakat.
Sedikit-sedikit mengeluarkan biaya. Sebentar-sebentar mengeluarkan uang. Ini butuh biaya, itu butuh uang. Bahkan, sebagian kita lakukan dengan terpaksa. Mau tidak mau mesti dilakukan, karena sudah merupakan kesepakatan bersama. Dan, karena sudah lazim dilakukan, terkadang hukumnya menjadi wajib (padahal hukum dasarnya hanyalah sunat).
Biaya tinggi di desa biasanya merujuk pada acara atau tradisi yang terkait dengan siklus kehidupan manusia, yaitu mulai dari hamil, lahir, khitanan, menikah, meninggal, hingga pascameninggal. Semuanya ada acara dan tradisinya masing-masing. Pemilik hajat mesti membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Demikian pula, para sanak-saudara dan tetangga ikut mengeluarkan biaya untuk membantu si pemilik hajat.
Walau di desa, kegiatan membantu orang lain dalam hajatan tertentu, baik berupa uang atau barang, disebut sebagai “nyumbang”. Pada hakikatnya, menyumbang bersifat sukarela atau keikhlasan, tanpa ada keharusan atau paksaan. Akan tetapi, pada praktiknya nyumbang di sini sifatnya adalah wajib, karena jika tidak kita lakukan, kita akan dianggap tidak guyup-rukun, tidak bersaudara, ora ngumumi (tidak melakukan hal yang lazim).
Bahkan, nyumbang di sini adalah istilah lain dari menabung, dalam arti jika dulu kita disumbang sekian dan sekian, atau disumbang barang ini dan barang itu; maka jika tiba waktunya mereka punya hajat sendiri, otomatis kita wajib menyumbang (mengembalikan) sebesar atau sesuai yang telah diberikan kepada kita. Jika tidak, maka kita bisa dicemooh, dibenci, atau bahkan tidak ditegur sama sekali.
Hajat Rutinan
Selain yang bersifat insidental seperti hajat siklus kehidupan di atas, ada pula acara atau tradisi, baik yang bersifat keagamaan maupuan sosial-kemasyarakatan, yang sifatnya rutin atau terjadwal. Acara ini biasanya telah disepakati hari atau waktunya. Seperti Yasinan dan membaca dzikir-tahlil setiap malam Jum’at, secara bergiliran dari rumah ke rumah, biasanya dalam lingkup RT. Ada pula Barzanji/Dibaan, Nariyahan (shawalat), Istighasah, acara jamaah atau kelompok tarikat tertentu, dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat sosial-kemasyarakatan, seperti acara sedekah desa (merti deso), selamatan, kenduri, Suronan. Kesemuanya itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Acara tersebut berlaku untuk semua warga tanpa kecuali, baik yang kaya atau miskin, baik yang suka atau tidak suka. Bahkan, yang miskin (dengan terpaksa, memaksakan diri) menyediakan hidangan makanan dan minuman sebagaimana yang dihidangkan oleh orang yang kaya, atau mengikuti sebagaimana para tetangga dan orang lain hidangkan.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, hal itu pada sebagian warga (terutama yang miskin) tentu akan memberatkan. Maka, tak jarang mereka mesti berhutang terlebih dahulu atau mengorbankan kebutuhan lain yang justru lebih penting dan mendesak. Efek negatif lainnya adalah pemborosan dan kemubadziran. Banyak makanan yang tidak termakan dan malah sebagian dibuang. Orang berangkat ke acara biasanya sudah dalam keadaan kenyang, sehingga hanya akan makan sekedarnya saja. Setelah pulang pun masih dibawakan makanan untuk keluarga di rumah. Orang di rumah juga sudah kenyang dan atau sudah mengantuk, sehingga makanan yang dibawa tidak termakan dan paginya menjadi basi, sehingga ujung-ujungnya dibuang.