Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Berbasis Budaya

3 Februari 2017   09:49 Diperbarui: 3 Februari 2017   10:01 8458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA,

FILOSOFI YANG MULAI DITINGGALKAN

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Konsep pendidikan berbasis budaya adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia. Salah satu peraturan daerah yaitu Perda DIY Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya. Perda ini dibuat antara lain didasari pertimbangan bahwa pemerintah provinsi DIY telah menetapkan visi pembangunan DIY tahun 2025 sebagai pusat pendidikan, budaya, dan tujuan pariwisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Nilai-nilai luhur budaya tersebut meliputi 18 macam nilai, meliputi: kejujuran, kerendahan hati, ketertiban/kedisiplinan, kesusilaan, kesopanan/kesantunan, kesabaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, percaya diri, pengendalian diri, integritas, kerja keras/keuletan/ketekunan, ketelitian, kepemimpinan, dan atau ketangguhan.

Nilai luhur budaya yang dimaksud identik dengan pendidikan karakter yang harus ditanamkan pada peserta didik melalui berbagai strategi. Menanamkan nilai-nilai luhur budaya pada diri peserta didik bukan merupakan hal yang mudah, namun bisa diupayakan dengan strategi keteladanan, program dan tindakan nyata, serta pembiasaan dari 18 nilai tersebut.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong pemerintah daerah mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya daerah di sekolah sebagai sarana melestarikan kearifan lokal serta membentuk karakter bangsa. Menurut Sri Hartini, Direktur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemdikbud dalam Kongres Bahasa Jawa VI di Yogyakarta, Rabu, 9 November 2016 bahwa budaya daerah dari para leluhur kita memiliki nilai yang sangat fundamental dan harus diwariskan ke generasi berikutnya. Menurutnya, selain di sekolah, pelestarian budaya daerah bisa diperkuat melalui ekosistem yang lebih kecil, yaitu keluarga.

Konsep pendidikan budaya lokal akan mempersiapkan generasi muda agar lebih siap dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi di masa yang akan datang. Sebagaimana Sri Sultan HB X menegaskan, pendidikan yang bermuatan lokal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pendidikan berbasis budaya lokal dapat dengan mudah terinjeksi pada masyarakat sebagai pelaku utama perkembangan pendidikan. Dengan budaya sebagai pilar pendidikan, karakter yang diharapkan dalam perkembangan bangsa diyakini dapat berhasil ditanam. Diharapkan, seluruh elemen pendidikan ikut andil sebagai pelaku budaya lokal dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing daerah untuk membentuk suatu model pendidikan karakter yang khas bagi setiap daerah.

Muatan Lokal

Untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal, pemerintah menekankan kurikulum pendidikan muatan lokal. Kurikulum ini bukan barang baru, sejak tahun 1987, keberadaannya dikuatkan dengan SK Mendikbud RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987. Di era reformasi, Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa struktur kurikulum pada setiap satuan pendidikan memuat tiga komponen, yaitu mata pelajaran , muatan lokal, dan pengembangan diri.

Muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya, serta kebutuhan pembangunan daerah setempat. Pada praktiknya, muatan lokal dipandang sebagai pelajaran kelas nomor dua dan pelengkap kurikulum. Sekolah-sekolah menerapkannya hanya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan dari pemerintah. Dari sisi peserta didik, muatan lokal hanya sebatas hafalan semata untuk dapat mengerjakan soal, bukan sebagai way of life dalam kehidupan nyata.

Sayangnya, selama ini muatan lokal masih bersifat kognitif semata. Sebatas pengetahuan dan hafalan agar bisa mengerjakan ujian. Karena pada realitasnya, kehidupan sehari-hari peserta didik memang sudah tidak terikat oleh nilai-nilai lokal tersebut. Termasuk para guru di pedesaan Jawa mulai menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan rumah. Nilai-nilai lokal sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri, atau hanya sekedar menjadi dongeng di televisi.

Penyeragaman

Inilah orientasi pembangunan Indonesia saat ini di semua bidang, termasuk pula dalam bidang pendidikan. Kurikulum pendidikan yang diberlakukan secara nasional seringkali mengabaikan aspek-aspek lokalitas. Ditambah lagi alur komunikasi secara top-down, yang mau tidak mau semua sekolah harus tunduk dan patuh pada apapun yang berasal dari atas (pemerintah).

Proses  penyeragaman ini bisa dilihat dari materi bahan ajar, metode pembelajaran, alat peraga pendidikan, sistem ujian, kegiatan siswa, prasarana dan sarana pendidikan, dan sebagainya. Sehingga sekolah di desa dan di kota sama, sekolah di Pulau Jawa dan di luar Jawa ya sama juga. Semuanya mengacu pada standar yang ditetapkan oleh pemerintah secara nasional.

Akibatnya, sekolah-sekolah rela atau tidak rela, sadar atau tidak sadar, mengabaikan nilai-nilai lokalitas terutama yang berbasis budaya. Bahasa daerah belum tentu diajarkan, keyakinan dan tata moralitas setempat dilupakan, mata pencaharian dan keterampilan  di daerah tersebut tidak dipelajari, permainan anak dan cerita rakyat tak lagi dipraktikkan.

Terkait materi bahan ajar, tidak semua daerah di Indonesia memiliki kebutuhan yang sama. Di daerah Sumatera dan Kalimantan misalnya, yang banyak memiliki perkebunan kelapa sawit atau karet, tentu materi pelajaran terkait perihal perkebunan amatlah penting. Di Papua, terdapat banyak sekali tambang dan penggalian, tentu materi pelajaran tentang dunia pertambangan pun diperlukan. Atau daerah-daerah lain yang memiliki ciri khas geografi dan demografi membutuhkan bahan ajar yang sesuai dengan kondisi setempat.

Dari metode pembelajaran, jika daerah tersebut terdapat banyak perkebunan atau tambang, belajar di luar ruang kelas atau praktek kerja lapangan cukuplah signifikan. Di kawasan pantai yang mayoritas pekerjaannya adalah nelayan, kegiatan penelitian laut dan eksplorasi juga penting adanya.

Sekolah sebagai Agen Perubahan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat mengakibatkan perubahan budaya masyarakat berlangsung dengan cepat pula. Perubahan budaya dalam masyarakat akan membawa perubahan dalam pendidikan. Sebaliknya, perkembangan dalam bidang pendidikan akan membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya pendidikan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kebudayaan, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses pembudayaan.

Hubungan antara pendidikan dan kebudayan sangatlah erat. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. menurut Prof. Zamroni, “Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri, menjadikan budaya steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menjadikan enclave dalam masyarakat”.

Selama ini, sekolah menjadi tempat untuk menyampaikan ide-ide perubahan, gagasan tentang kemajuan, serta gerakan modernisasi. Sekolah sebagai tempat mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan etika dan nilai-nilai baru, dan mempraktikkan berbagai hasil produk teknologi.

Namun perlu diingat bahwa tidak semua yang baru adalah baik dan sesuai dengan realitas dan kondisi bangsa Indonesia. Dalam beberapa hal, sesuatu yang baru tersebut tak jarang merusak nilai-nilai lama. Oleh karena itu, perlu adanya filter untuk memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Peran sekolah sebagai bagian terpenting dalam mempertahankan budaya bangsa sudah kalah dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat mengubah budaya masyarakat. Sekolah-sekolah di Indonesia yang mendasarkan kebudayaan tak lagi mampu mempertahankan prinsip dasar pendirian sekolah itu sendiri, yang semakin tergerus oleh gerak laju modernitas.

Menurut Prof. Zamroni, perkembangan dunia pendidikan membawa dua masalah utama. Pertama, terjadi proses industrialisasi sekolah yang memiliki watak liberalis dan kapitalis. Akibatnya, jiwa pendidikan tergerus oleh kepentingan dan perhitungan ekonomi. Kedua, sekolah telah menghasilkan lulusan yang tercerabut dari akar budaya, karena sekolah menawarkan budaya urban. Filosofi  “think globally, act locally” hanyalah slogan semata; realitasnya adalah “think globally, act globally as well”.

Dalam dunia pendidikan, mengikuti dan meniru apa yang telah dicapai oleh peradaban Barat tidaklah salah, tapi jika mengabaikan bahkan menghilangkan nilai-nilai budaya sendiri, tentu hal ini perlu ditinjau ulang. Bolehlah kita berorientasi sekolah berstandar internasional, tapi standar lokalitas tidak boleh ditinggalkan. Kita harus yakin bahwa kita juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. inilah yang mesti kita pertahankan dan dikembangkan.

Nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat sebagian memang perlu diubah atau bahkan ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan kekinian dan kontraproduktif, sedangkan yang masih baik dan bersifat adaptif mestinya tetap dipertahankan dan dilestarikan. Tidak semua yang baru itu mesti baik, demikian halnya tidak semua yang lama itu jelek. Mestinya kita bisa memilih dan memilah untuk kemudian kita padukan antara yang lama dengan yang baru menjadi sebuah formula unggul.

Akhirnya, bagaimana pun pendidikan berbasis budaya tetap amatlah penting, agar kita menjadi bangsa yang memiliki karakter khas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai serbuan budaya luar. Kita menjadi bangsa yang kuat, bukan bangsa yang lemah yang mudah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Kita juga menjadi bangsa yang pandai berterima kasih dan menjaga nilai-nilai luhur warisan nenek-moyang kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun