Si ayah tidak membela siapa pun. Akhirnya ia segera menuju ke masjid karena iqamat telah dilantunkan.
***
Pakde Pete, itulah julukannya. Nama aslinya adalah Abdul Hamid. Karena di dusun pekerjaannya adalah nebas[1]petai, maka julukan itulah yang lebih sering disebut orang. Menjelang iqamat di masjid, ia selalu sudah berdiri di dekat pintu mengawasi semua anak-anak yang mau ikut shalat berjamaah. Ia berdiri dengan kaku, wajahnya tegang dan tampak seram. Bola matanya liar menatap ke sekeliling ruangan masjid.
Lantunan shalawat dan puji-pujian menggema lewat Toa di menara masjid. Sebagian anak-anak sudah berbaris rapi menunggu iqamat. Mereka berbisik-bisik satu sama lain dan sesekali melirik ke arah Pakde Pete dengan mimik ketakutan. Tak jarang pula, mereka melihat ke arah Pakde Pete dengan senyuman mengejek.
Beberapa anak yang lain berlarian dan kejar-kejaran di ruangan masjid. Seketika itu juga, Pakde Pete langsung mendamprat mereka dengan keras. Mereka pun berhenti berlari dan duduk dengan penuh ketakutan. Tak berapa lama, ada saja anak-anak yang berlarian. Ketika lewat dekat pintu, secara spontan Pakde Pete menyabetkan surbannya ke anak-anak itu. Melihat hal itu, anak-anak lain yang datang tak berani melewati pintu yang ada Pakde Pete, mereka memilih pintu lainya untuk masuk ke masjid.
Kini, jamaah shalat telah dimulai. Pakde Pete masih berdiri garang di belakang shaf untuk mengawasi anak-anak. Ketika ada anak-anak yang masih nolah-noleh, ia segera menjewernya. Ketika ada anak-anak yang tak segera menempati barisan shaf, ia menyabetnya dengan surbannya. Dan ketika ditemui ada anak-anak yang masih berlari-larian, ia mengejarnya dan pukulan penuh emosi melayang kepada mereka.
Barulah menjelang ruku’, Pakde Pete menempati barisan belakang dan mengikuti jamaah shalat. Dalam shalatnya pun, ia tak bisa tenang. Ternyata anak-anak masih saja berisik, nolah-noleh, mengobrol, bahkan berpindah-pindah shaf. Pakde Pete tak bisa khusyu, ada kedongkolan akut di dalam jiwanya. Baginya waktu salam terasa begitu lama, karena ia sudah tak tahan untuk memarahi mereka.
“Bisa diam tidak kalian!” bentaknya ketika usai salam.
Hampir tiap ba’da shalat Pakde Pete selalu mengomel dan berteriak. Seringkali suasana dzikir dan doa terganggu karena ulahnya. Sebenarnya, para jamaah lain merasa tak nyaman atas tindakan Pakde Pete yang dianggap sudah berlebihan. Tapi mereka sungkan, karena selain Pakde Pete merupakan sesepuh, tanah masjid ini merupakan wakaf darinya.
Sekalipun omelan, umpatan, teriakan, maupun pukulan dari Pakde Pete terus mengintai anak-anak, mereka tetap saja ramai dan berisik. Mereka hanya mau diam dan tertib sesaat saja, setelah itu kembali ke semula. Anak-anak menganggap masjid tak berbeda dengan halaman rumah, kebun, atau lapangan sehingga mereka bisa bermain sesuka hati. Di waktu dzikir dan doa, waktu belajar mengaji, waktu adzan, teriakan dan keceriaan mereka tak pernah berhenti.
Saking seringnya diomelin, anak-anak pun semakin kebal dan terkadang pandai bersiasat. Ketika shalat, mereka mencari tempat yang paling pojok atau paling belakang. Tak jarang mereka kucing-kucingan dengan Pakde Pete. Atau mereka sengaja berisik ketika melihat Pakde Pete sedang shalat sunnah. Bahkan, keberanian anak-anak mulai muncul. Mereka menjulur-julurkan lidah mereka pertanda penghinaan ketika mereka diomelin. Atau mereka sengaja ramai dan ketika diomelin, mereka langsung lari, dan dari jauh mereka joged-joged menghina Pakde Pete.